Ini Bukanlah Malam Kita
Ingatkah kamu, pada satu malam saat kita berdua terduduk
bersama di sebuah bangku taman—tempat di mana beberapa kali kita menyampaikan
rindu yang beranak-pinak.
Sesampai kita di sana, kita telah menentukan jarak yang
menjadi dinding penghalang untuk kita dapat menautkan jemari yang saling
merindu, beberapa saat yang kita habiskan dengan bisu dan diam, dan hanya suara
binatang malam yang berdialog penuh gegap.
Kamu tahu? Dalam diam yang aku bangun sedari awal,
sebenarnya aku tengah membuat pertahan agar segala isi telagaku tak tertumpah
di depanmu. Maka dari itu, aku memilih diam dan hanya menampakkan sisi angkuh
yang meradang.
Meski aku tak menamatkan tatap kedua netra ini ke arahmu,
aku cukup bisa merasakan bahwa kala itu, kamu beberapa kali menitikkan air
matamu dengan tertahan. Deru napas yang kau mainkan membuat dadaku semakin
bergemuruh pilu, dan jika angkuh yang kupunya tak cukup kuat menahan—saat itu,
pada detik di mana sulur air matamu terjalin, aku ingin menghapusnya dengan
kecup hangat yang selalu aku impi.
Lalu, saat suara paraumu memecah sunyi yang meraja, kata
demi kata yang terlahir dari bibir mungilmu membuat aku ingin berlari dan
menghambur ke pelukanmu, tapi itu hanya angan. Aku tetap diam kala kau menyebut
namaku dengan syahdu suaramu, tubuhku tetap kaku mematung bak patung-patung
yang hidup dalam dunia diorama, aku hanya memilih geming—dan angkuhku tetap
memegang tahta lakuku.
Aku ingin menghilang, atau mungkin aku mendoakan sebuah
keajaiban terjadi—bahwa kita tengah berlakon dalam rangkai mimpi tidurku. Tapi,
itu nampak mustahil.
Aku tak pernah ingin kehilangan senyum yang senantiasa kau
ukir pada indah wajahmu, aku tak pernah ingin kehilangan syahdu suara yang
senantias terlahir dari mungil bibirmu, aku tak pernah ingin kehilangan lembut
tatap yang senantiasa berpendar dari teduh netramu—karena aku hanya selalu
ingin kamu, menjadi selalu utuh untukku, itu saja.
Jika kamu masih mengingatnya, aku pada akhirnya memilih
pergi dan berjalan menjauh dari tempat kita merayakan rindu dalam kaku, aku tak
kuasa berbalik atau sekedar berhenti dan menunggu langkahmu dapat menyamaiku—karena
aku telah kalah, telagaku tak dapat kubendung lagi, maka angkuhku menyerah.
Langkahku terhenti pada tepi jalan, kakiku telah temu goyah
dan tak kuasa lagi untuk sekedar menopang beban tubuhku. Dan pada saat itu,
semua wujud yang nampak kemudian perlahan mengabur.
Dan pada akhirnya, aku benar-benar memilih pergi
meninggalkanmu. Pergi menjauh tanpa sisa tenaga untuk sekedar memalingkan diri
ini ke arahmu. Aku mengakihiri temu kita dalam kesamaran, aku meninggalkanmu
dengan menjejakkan segala tanya yang tersisa.
Sebuah bisik tersembunyi menemani kepergianku, dia
mengatakan bahwa ini bukan malamku. Dan mungkin, ini bukanlah malam kita. Itu saja.
Komentar
Posting Komentar