[Fiksi] - Hello Morning #1

Aku berjalan menyusuri koridor yang lengang, langkahku agak gontai dan tergesa. Hanya dengan berbalut piama aku saat ini berada di sebuah rumah sakit, aku menuju ruang operasi di mana salah satu orang yang kukenal baik tengah terbaring dan memperjuangkan nyawanya.
Aku melayangkan tatap ke segala penjuru di sekitaran ruang yang saat ini tertutup rapat itu, satu sosok yang tak asing lagi olehku terlihat duduk terkulai lemas. Bergegas aku menghampirinya. Tepat di depanku, dia menengadahkan wajahnya. Tanpa harus mengeluarkan satu kata yang bisa ia suarakan, aku paham betul apa yang saat ini ia pikirkan. Wajah yang telah sekian lama aku kenal itu nampak berbeda dari biasanya, sosok yang kukenal tegar dan tak pernah menghilangkan tawa dari wajahnya, kini seperti wujud yang sangat tak keruan. Kedua matanya sembab dengan menyimpan kesedihan tiada berdasar, air matanya nampak belum kering di kedua pipinya, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi hanya berakhir di keringnya pangkal tenggorokan yang aku kira belum terjamah cairan sama sekali.
Aku duduk bersimpuh di depannya, ia hanya terdiam tak bersuara, namun tatapannya tak lepas dari kedua manik mataku. Aku berangsur mendekatinya, dan mencoba untuk menenangkannya—aku memeluknya.
“Ra, dia nggak sadar. Gue mesti gimana?” Tangisnya menjadi-jadi saat aku berhasil memeluknya, utuh. “Dia masih koma, Ra. Operasi kedua terpaksa dihentikan karena dia gak ada respon sama sekali. Gue mesti gimana, Ra? Gue gak mau dia pergi secepat ini.” Dia mengulang-ulang kata yang hampir sama pada tiap ucapnya. Aku mendekapnya lebih erat agar dia merasa lebih tenang. Tak lama tangisnya mulai reda, dan aku berusaha untuk mengajaknya bicara lebih banyak.
“Dia bakalan baik-baik aja, dia kan cewek kuat. Kamu berdoa aja buat dia, kamu mesti yakin kalo dia bakal sembuh dan kayak dulu lagi.” Aku berusaha membuka percakapan.
“Dari beberapa jam yang lalu dia gak buka mata sama sekali, Kei nggak ngerespon obat yang dikasih dokter ke dia. Harusnya dia buka mata dia, Ra. Harusnya dia ngasih tau ke gue kalo dia baik-baik aja. Operasi kedua tetep dijalanin ama tim dokter, tapi pas operasi berjalan, keadaan dia makin drop, dokter gak berani nerusin operasi itu, dan sekarang gue gak tau perkembangan apa lagi yang ada di dalem sana, mereka nggak ngasih gue masuk, Ra. Gue gak boleh lihat Kei. Gue gak tau mesti gimana.” Tangis yang sempat mereda kini bergemuruh kembali.
“Dia butuh istirahat sebentar, Dann. Kalo dia merasa dia udah cukup istirahatnya, pasti dia bakalan ngebuka mata dia lagi buat lu, buat gue, buat kita semua. Dia bakalan baik-baik aja. Percaya sama gue.” Aku menggenggam kedua tangannya. Aku memastikan dia percaya dengan apa yang aku katakan, paling tidak itu akan membuat dia sedikit tenang.
Kami menghabiskan sisa waktu dengan saling diam, Dann duduk disampingku, dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Ah, jika saja kondisinya tidak seperti saat ini, aku pasti akan sangat bahagia. Tapi apa mau dikata, inilah fungsiku, sebagai sahabatnya, akan selalu ada untuknya—meski aku ingin lebih, sangat lebih.
Nyala lampu di atas pintu ruang operasi tiba-tiba saja padam. Aku menyadarkan Dann bahwa operasi telah selesai dilakukan. Pintu ruang operasi terbuka perlahan, seorang dengan jubah berwarna hijau keluar dari ruangan yang nampak bercahaya agak redup. Sebelum aku dan Dann menghampiri si dokter, telah lebih dulu segerombolan orang yang aku kenal mereka adalah keluarga Kei, telah mengerubungi dokter itu. Aku dan Dann terpaksa menghentikan langkah, kami hanya mendengarkan keterangan yang disampaikan si dokter dari tempat kami berdiri. Meskipun aku tak begitu jelas mendengar apa yang disampaikan oleh dokter itu, namun dari perubahan raut wajah keluarga Kei, aku cukup tahu bahwa operasi berjalan lancar, dan Kei selamat.
Selang bebarapa saat, sebuah ranjang pasien meluncur keluar perlahan didorong oleh tim perawat. Aku bisa melihat jelas wajah lelah Kei, matanya masih terpejam, tapi aku tahu dia akan baik-baik saja. Perawat membawa Kei ke ruangan lainnya, ruangan yang akan ditempatinya sampai dia pulih seperti sedia kala.
Lamunanku tersadar oleh genggaman tangan Dann yang semakin kuat, aku menoleh ke arahnya, dan kini dia telah kembali menjadi sosok yang aku kenal selama ini. Senyum hangatnya mengisyaratkan bahwa dia dalam keadaan yang lebih baik dari sebelumnya. Itu membuatku lega, sekaligus sedih yang tak bisa kujelaskan.
“Lu lebih baik pulang aja, Ra. Kei udah ngelewatin operasinya dengan selamat, dan gue juga udah baik. Sementara lu pulang, gue akan nemenin Kei di sini aja. Besok pagi gue baru balik.” Dann nampak sangat semringah, berbeda sekali dengan sosok yang beberapa saat lalu tengah diliputi duka dan hanya isak tangis yang bisa ia utarakan. Dan, dia nampak sangat bahagia.
Aku mengiakan perkataannya. Setelah aku berpamitan kepada keluarga Kei, aku kembali menyusuri koridor yang masih saja lengang ini. Masih dengan piama tipis yang menempel. Masih dengan rambut yang aku pun tak tahu bagaimana aku mengikatnya tadi.
Aku bahagia karena salah satu dari sahabat terbaikku berhasil melewati operasinya dengan selamat. Aku bahagia saat melihat sahabatku yang lain tersenyum bahagia saat kekasihnya akan segera pulih. Aku bahagia.
Kei, salahkah aku jika tadi aku sempat berharap kamu tidak akan selamat dari operasimu? Aku juga ingin bahagia, bukan karena aku bisa melihatmu pulih atau melihat Dann bahagia atas sembuhmu. Aku ingin merasa bahagia karena aku bisa sedikit lebih lama dibutuhkan oleh Dann—tak lebih.

---

Komentar