[Resensi Film] - Istirahatlah Kata-kata (Solo, Solitude)
Sumber: Google Image |
Sutradara: Yosep Anggi Noen | Penulis: Yosep Anggi Noen
Sinematografi: Bayu Prihantoro Filemon | Pemain: Gunawan Maryanto,
Marissa Anita, Melanie Subono, Eduwart Boang Manalu, Dhafi Yuna
Genre: Sejarah, Drama | Rilis: 19 Januari 2017 (Indonesia)
“Ternyata, jadi buron itu jauh lebih menakutkan, daripada menghadapi
sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi”
–Widji Thukul (dalam dialog Istirahatlah Kata-kata)
WIDJI THUKUL, siapa yang tak kenal dengan nama itu? Sekilas ataupun
membekas, nama Widji Thukul tak akan lagi asing untuk sebagian orang
Indonesia—terlebih mereka-mereka yang notabene menobatkan dirinya sebagai
aktivis yang memperjuangkan HAM.
Pria bernama asli Widji Widodo ini adalah seorang sastrawan dan aktivis
hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Widji dinyatakan hilang dan sampai
sekarang belum diketahui rimbanya, ia tidak sendiri, karena ada 12 aktivis
lainnya yang dinyatakan hilang pada saat yang sama dengan Widji.
Lewat puisi-puisi yang mewakili apa yang dirasa oleh rakyat Indonesia di
masa itu, nama Widji Thukul tak lagi sebatas dikenal oleh lingkungan keluarga
ataupun teman-temannya saja—bahkan rezim yang tengah berkuasa saat itu
memperhitungkan namanya sebagai orang-orang yang dianggap berbahaya. Hal inilah
yang membuat Widji mesti melakukan pelarian dari satu tempat ke tempat
lainnya—pelarian yang membuatnya harus berpisah dari anak dan istrinya—harga
yang mesti ia bayar atas apa yang ia perjuangkan.
Meski keberadaannya masih menyisakan pertanyaan besar bagi sebagian
orang, namun apa yang pernah ia suarakan tak hilang bersamanya, dan di situlah
letak kekuatan Widji berada. Tak hanya satu film, sudah banyak film yang
menceritakan sosoknya, bahkan anaknya, Fajar Merah, lewat lagunya menceritakan
bagaimana sosok Widji Thukul yang ia isyaratkan seperti puisi—keberadaannya
singkat, namun butuh banyak waktu untuk bisa mengerti.
ISTIRAHATLAH KATA-KATA, merupakan film biopik yang menjadi salah
satu film pembuka pada awal tahun 2017, dengan adanya film ini, menunjukkan
kepada khalayak luas bahwa Indonesia tak hanya mampu menciptakan karya yang
itu-itu saja, karya yang bahkan untuk melihat trailer-nya saja kadang
menjadi hal yang diperhitungkan.
Film yang digarap oleh Anggi Noen ini bukan film tentang Widji Thukul
pertama yang saya tonton, sebelumnya saya pernah menonton satu film pendek yang
juga menceritakan bagian hidup Widji. Namun berbeda dengan film yang saya
tonton sebelumnya, Istirahatlah Kata-kata ingin menunjukan sosok Widji sebagai
manusia seperti manusia kebanyakan, tanpa menyuguhkan aksi demonstrasi atau
aksi-aksi orasinya dalam berpuisi, film ini menitikberatkan pada kehidupan
Widji selama ia berada dalam pengasingan. Pengasingan di sini adalah masa di
mana Widji mesti berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya untuk
bersembunyi, ya, Widji pada saat itu tengah menjadi buron.
Film berdurasi 90 menit ini mengajak kita menyelami sosok Widji melalui
sisi lainnya, meski dalam masa-masa pelariannya Widji tetap menulis, tetap
memikirkan apa yang telah menjadi bagian dirinya—Widji tetaplah Widji, seorang
manusia yang bisa juga merasa sepi, kosong, gelisah, tak tenang, dan rindu
dengan keluarga yang ia tinggalkan. Di dalamnya akan terlihat bagaimana Widji
Thukul bisa selama bermalam-malam tidak tidur karena ia merasa khawatir, ia
takut jika ia terlelap barang sejenak, maka keberadaannya akan terendus oleh
pihak yang menginginkan dirinya. Ia bersama dengan Thomas, teman yang menampung
dirinya selama di Pontianak, mesti membeli tuak untuk dapat membuatnya merasa
tenang dan matanya bisa diajak terpejam barang sebentar saja.
Anggi Noen menyuguhkan format film yang minim dialog antar tokohnya,
beberapa kali atau mungkin sebagian besar film ini menampilkan quiet scene yang
memang cukup untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikan film ini. Namun
demikian, selama pemutaran film ini berlangsung, saya merasa belum mendapatkan
kesan emptiness yang ingin disuguhkan, film ini masih terlalu light untuk
saya. Gunawan Maryanto memang telah membawakan gambaran sosok Widji Thukul
secara baik, dan Marissa Anita membawakan sosok Sipon tak kalah baik pula—tapi,
ada rasa kurang klik selama saya menonton film ini.
Quiet scene yang merupakan salah satu kekuatan film ini, juga
merupakan titik lemah yang tak luput dari saya, bagaimana tidak? Quiet
scene ini beberapa kali menjadi boring scene untuk saya. Selain
itu, memang Anggi Noen secara khusus menitikberatkan film ini pada satu
potongan hidup Widji Thukul saja, tanpa mengenalkan secara detail siapa
sosoknya, jadi, marilah kita beranggapan bahwa penonton film yang akan menonton
film ini adalah orang-orang yang telah mengenal Widji Thukul secara baik. Dan,
tentu saja hal ini menjadi satu lagi titik kurang pada film Istilah Kata-kata,
anggaplah para penonton setelah pulang dari bioskop akan mengulik secara
mandiri siapa Widji Thukul ini, tapi tidak ada yang bisa menjamin bahwa hal ini
akan dilakukan oleh semua orang, probabilitas orang yang akan mengulik lebih lanjut
sosok Widji Thukul ini pastilah sangat kecil.
Kekuatan lainnya yang membuat saya suka dengan film ini adalah bagaimana
Anggi Noen mengawali dan menyudahi film ini. Diawali dengan sosok Sipon yang
menyenandungkan lagu Darah Juang, dan diakhiri dengan scene yang
terkesan menggantung, yakni sosok Widji Thukul tak kunjung kembali dari dapur
saat mengambilkan air untuk Sipon dan dilanjutkan dengan Sipon kemudian menyapu
rumah—adalah sebuah pengakhiran yang sangat pas untuk film ini. Layar berubah
menjadi gelap, kemudian kumandang lagu dari Merah Bercerita yang berjudul Bunga
dan Tembok (merupakan musikalisasi dari salah satu puisi Widji Thukul) mengisi
ruang dengar para penonton. Tidak terkesan dilebih-lebihkan, tapi cukup dengan
sebuah ending yang sederhana, film ini menjadi tontonan yang tak
layak untuk dilewatkan oleh pencinta film tanah air.
HAL LAINNYA terlepas dari isi film besutan Anggi Noen, namun tak bisa
dilepaskan dari aksi perjuangan aktivis, adalah sebuah lagu Darah Juang. Dalam
film Istirahatlah Kata-kata, lagu ini disenandungkan dua kali lewat siulan
Sipon.
Darah Juang adalah lagu yang diciptakan oleh John Tobing, lagu yang akrab
dinyanyikan oleh mahasiswa-mahasiwa ketika mereka melakukan aksi dalam rangka
menyampaikan aspirasi rakyat kepada pihak-pihak yang menduduki kursi
parlemen—dengan kata lain, roh dari lagu Darah Juang adalah bersama mereka,
para aktivis yang ingin membuat sebuah perubahan untuk kehidupan berbangsa yang
lebih baik tanpa mesti ada lagi kesan berat sebelah pada pihak-pihak tertentu.
Di sini negeri kami,
Tempat padi terhampar,
Samuderanya kaya raya,
Tanah kami subur Tuhan
Di negeri permai ini,
Berjuta rakyat bersimbah luka,
Anak kurus tak sekolah,
Pemuda desa tak kerja,
Mereka dirampas haknya,
Tergusur dan lapar,
Bunda relakan darah juang kami,
Padamu kami berjanji,
Tuk membebaskan rakyat,
Apa yang tebersit dalam hati teman pembaca lainnya saat mendengar lagu di
atas disenandungkan? Semoga haru berubah menjadi kabar baik untuk kita semua.
“Aku tidak ingin kamu pergi, tapi aku juga takut kamu di sini. Aku hanya
ingin kamu tetap ada…”
--Sipon
setuju sekali sama reviewnya!
BalasHapusEmips udah nonton juga? Berapa rating dari Emips?
HapusMakasih ya udah mampir...
Aku cuma kasih 2.5 sampai 3 kak. Padahal bagus, tapi sayang untuk orang awam kayak aku, film ini tidak bisa menjelaskan apa yang harus dijelaskan. Kujuga membuat reviewnya di blog wkwkw. Sama-sama!
HapusKarena itu tadi, nggak dijelasin detail siapa si Widji Thukul kan, karena anggapannya 'mungkin udah pada tahu baik'.
HapusOkelah, nanti kubalik berkunjung ke review-nya.
Aku termasuk yang pengin cari lebih banyak tentang Widji Thukul setelah nonton ini.. Dan setuju, ending film ini kuat dan terasa pas banget.
BalasHapusYeay... selamat berkenalan lebih akrab dengan Widji Thukul, Kak.
HapusEndingnya memang juara ya, simple tapi 'pas'.
Terima kasih telah berkunjung..
wahh sepertinya keren film ini. jadi mau nonton nih...
BalasHapusFilmnya bagus, Kak. Memang sayang kalau mesti dilewatin...
HapusTrimski sudah berkunjung, dan salam kenal...
Wah, saya tahu ini film yang penting, dan sinematografinya bagus. Tapi secara penuturan cerita kok menurut saya masih banyak yang bisa dikembangkan ya...
BalasHapusKurang padet ya, Kak...
HapusDari Kak Z, dapet rate berapa nih?
Trimski sudah berkunjung, Kak. Salam kenal....