[Ulasan Buku] - Hari Setelah Kita Jatuh Cinta
Judul:
Hari Setelah Kita Jatuh Cinta | Penerbit:
Grasindo
Penulis:
Halluna Lina | Penyunting:
Septi Ws
Jumlah
Hlm.: 247 hlm | Cetakan
pertama, Juni 2016
ISBN:
978-602-375-520-2 | Rating Buku: 3/5
“Friendship is certainly the finest balm for the pangs of disappointed love.”– Jane Austen
Saat membatalkan pernikahannya sendiri,
Rasi merasa langit runtuh dan mengubur dirinya di kedalaman bumi hingga
mustahil dirinya bangkit lagi. Akan tetapi, Tuhan tidak kehabisan kejutan. Di
saat Rasi selesai membenahi hati dan kembali menjalani hidup, hadirlah Reuben.
Lelaki itu membuat Rasi berpikir apakah dia hadir sebagai tiket untuk bisa
bangkit kembali dan jatuh cinta? Rasi berpikir demikian saat tangan Reuben
terulur, menawarkan kebersamaan, dan tanpa sadar memberi Rasi mimpi.
Rasi menyerahkan segala kepercayaannya dan
menyilakan Reuben masuk pada bagian dirinya yang tidak pernah dibagi pada
sembarang orang. Tapi, di saat yang sama, Rasi tahu bahwa Reuben bukan datang
padanya sebagai kesempatan untuk kembali jatuh cinta. Reuben justru datang
untuk menggenapkan pengalamannya patah hati. Di titik itulah, Rasi terlambat
menyadari bahwa penyakit yang selama dua tahun ini susah payah disembuhkan,
nyatanya kembali datang. Penyakit yang membuatnya lupa, bahwa patah hati ada
untuk dihadapi, bukan dihindari.
RASI—seorang penulis muda yang berusia 25
tahun, telah menghasilkan banyak karya melalui kepiawaiannya dalam merangkai
kata. Seorang wanita muda yang terpaksa menutup hatinya untuk kehadiran
laki-laki di dalam hidupnya. Apa pasal yang menyebabkan Rasi bersikap demikian?
Hal ini tidak lain disebabkan oleh trauma kehilangan dan ia sendiri ditempatkan
pada posisi yang harus terpaksa melihat perpisahan dan perselingkuhan dari
orang-orang yang ia cintai sekaligus orang-orang yang pada porsinya memegang
peranan penting dalam kehidupan Rasi.
Adanya trauma ini membuat Rasi harus
menolak ajakan seorang laki-laki bernama Berlin, seorang yang juga kehadirannya
sangat berarti untuk Rasi, seseorang yang sepertinya hanya dia yang bisa
menerima sosok Rasi seperti apa adanya Rasi. Kepada Berlin, Rasi bisa
mencurahkan apa yang ia rasa, dan ia tidak harus menjadi orang lain di depan
laki-laki ini. Tetapi, saat Berlin mengajak Rasi untuk menjalin hubungan ke
arah yang lebih serius, Rasi justru menolaknya. Penolakan yang tidak terlepas
dari trauma masa lalunya.
Rasi ingin menjadi seperti orang lain yang
bisa merasakan cinta, merasakan sensasi-sensasi yang telah lama ia kubur
rasanya. Maka dari itu, Rasi memutuskan untuk menjalani terapi dengan Dokter
Chintya. Bersama Dokter Chintya inilah Rasi secara perlahan tapi pasti bisa
menjadi lebih baik dan pada satu saat tertentu ia bertemu dengan teman semasa
SMP, yakni Reuben—seorang laki-laki yang bisa mencairkan hati Rasi, seorang
laki-laki yang bersamanya Rasi ingin merasakan kembali bagaimana cinta dapat
merengkuh hangat manusia sepertinya.
Kehadiran Reuben adalah sebuah oase
sekaligus bencana baru untuk Rasi. Bersama dengan Reuben tidak membuat Rasi
merasa panik atau merasa terbebani, malah sebaliknya, Rasi merasa nyaman. Dan
apakah benar Reuben adalah sosok laki-laki yang selama ini Rasi tunggu?
Dalam menghadapi keadaannya, dalam
masa-masa terapi yang Rasi jalani, Rasi tentu saja tidak sendirian. Ada 3
sahabat yang mereka namai sebagai Geng Masakan Nyokap, yakni Hannah, Freyja,
dan Relung—mereka bertiga ditambah satu teman dekat Rasi yang selalu berada di
samping Rasi saat dibutuhkan, ia adalah Aga, berbeda dengan ketiga teman Rasi
sebelumnya, Aga adalah seorang laki-laki.
Personel Geng Masakan Nyokap, terdiri dari
4 orang wanita muda termasuk Rasi. Mereka tentu saja mempunyai karakter yang
berbeda, tetapi mereka mempunyai satu kesamaan yang disebabkan oleh keadaan,
ya, mereka berempat dibesarkan oleh seorang Ibu (single parent). Mereka semua
dulunya bersekolah di sekolah yang sama di kota Cirebon, termasuk Reuben dan
Aga. Awalnya saya melihat keberadaan geng ini seperti Geng Cinta dalam film
AADC, karena karakter antara kedua geng ini memang ada sedikit kesamaan.
Lalu bagaimana kisah perjalanan Rasi
bersama teman-temannya? Apakah Rasi berhasil bangkit dari keadaannya saat ini?
Apakah Reuben memang laki-laki yang tepat untuk membantu Rasi keluar dari
segala apa yang Rasi takutkan? Dan Aga, apakah dia hanya sebatas teman yang
selalu siap siaga menjadi sopir kemanapun Rasi pergi? Kita bisa mendapatkan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam buku dengan tebal 247 halaman
ini.
HARI SETELAH KITA JATUH CINTA—adalah buku
pertama yang saya baca dari penulis Halluna Lina. Saya memang bisa dibilang
jarang sekali membaca buku yang ditulis oleh penulis-penulis tanah air, bukan
sombong atau apa, hal ini lebih kepada isu yang diangkat oleh penulis tanah air
masih belum membangkitkan hasrat saya untuk membacanya. Tetapi, tentu saja hal
ini berbeda dengan buku-buku yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, Toha
Mohtar, NH Dini, Cak Nun, Korrie Layun Rampan, dan penulis-penulis lainnya di
luar lingkup sastra populer.
Berhubungan dengan isu, buku yang ditulis
oleh Halluna ini mengangkat isu yang menarik dan sesuai dengan keilmuan yang
tengah saya tempuh, yakni psikologi. Isu besar yang diusung dalam novel Hari
Setelah Kita jatuh Cinta adalah salah satu bentuk defence mechanism (represi)
oleh tokoh utama dalam novel ini, yakni Rasi. Untuk buku lainnya dengan isu
represi sebelumnya pernah saya review juga di
sini, jadi tidak perlu lagi saya ulas mengenai apa itu defence
mechanism atau apa itu represi, melainkan saya akan lebih ingin mengulas
mengenai terapi yang dijalani oleh Rasi.
Pada awalnya, saya memang mengalami
kesulitan untuk menemukan ritme dalam buku ini—seperti biasa, untuk memudahkan
saya mencerna apa yang disampaikan dalam sebuah buku, saya terlebih dahulu
mencari ritme dari sebuah cerita. Pada 20 halaman pertama, saya masih belum
merasa ‘klik’ dengan cerita Rasi dan teman-temannya, ingin berhenti saja untuk
membacanya? Tentu saja ada, akan tetapi, akan sangat tidak adil jika saya
menilai sebuah buku hanya berdasarkan 20 halaman pertamanya saja tanpa
menyelesaikannya terlebih dahulu. Dan setelah saya membacanya, heum, saya
menemukan beberapa hal yang membuat saya merasa geli, semringah, haru,
atau awkward—jadi paket lengkap, paket lengkap yang tidak akan saya
temukan jika saya berhenti di 20 halaman pertama.
Saya meninggalkan banyak catatan dalam
buku ini, terdapat beberapa typo yang ingin saya abaikan tetapi mau
tak mau sangat mengganggu saya, adanya ketidaksesuaian komposisi kalimat,
bahkan ada beberapa inkonsistensi yang saya temukan dalam buku ini--tetapi,
secara keseluruhan, saya memberikan apresiasi kepada Mba Halluna karena berani
mengangkat isu psikologi dalam karyanya.
Tentang penokohan, karakter favorit saya
dalam novel ini adalah sosok Aga, kenapa? Menurut saya, Aga adalah satu-satunya
karakter yang dialognya tidak terkesan dipaksakan, Aga lebih apa adanya. Dan
setiap bagian yang menghadirkan Aga berhasil memberikan atmosfer ‘menyenangkan’
yang terjadi secara natural. Dan untuk peran Aga di dalam novel ini, saya
memberikan apresiasi lagi kepada Mba Halluna, karena sosok Aga tidak dihadirkan
menjadi sosok klise dalam persahabatan antara cewek dan cowok yang berakhir
dengan cinta.
Jika Aga adalah tokoh favorit, lalu siapa
tokoh yang kurang saya suka? Heum, jawabannya adalah 50% untuk Reuben dan 50%
untuk Rasi. Kenapa? Hal ini tidak lepas dari adanya inkonsistensi karakter yang
diberikan kepada Rasi. Kalau untuk Reuben? Saya menilai Reuben ini adalah
makhluk yang kurang bisa menekan id-nya, dan memanfaatkan situasi di sekitarnya
sebagai 'aji mumpung'.
Untuk Hannah, Relung, dan Freyja? Mereka
adalah karakter pelengkap sekaligus pendukung untuk kehidupan Rasi, tanpa
mereka Rasi akan menjadi sosok yang keadaannya akan lebih kacau daripada yang
ada di dalam novel ini. Jika teman-teman masih ingat bagaimana Geng Cinta
melindungi dan mendukung Cinta? Nah, peran mereka bertiga ini sama persis
dengan apa yang dilakukan oleh Geng Cinta. Untuk karakter, Freyja yang
cenderung ‘lakik’, Relung yang cenderung ceplas-ceplos, dan Hanna yang lebih
dewasa—maka sudah barang tentu mereka adalah orang-orang yang kehadirannya
sangat dibutuhkan oleh Rasi.
Pertemuan Rasi dengan Dokter Chintya untuk
melakukan terapi adalah bagian yang tidak terpisahkan jika ingin mengulas isi
buku ini. Dalam menangani Rasi, Dokter Chintya menggunakan metode hipnotis kemudian
diikuti dengan metode asosiasi bebas saat keadaan Rasi mulai tidak
stabil lagi. Dan salah satu teman yang juga sedang membaca buku ini, sempat
menanyakan jenis terapi tersebut (metode hipnotis).
Society for Psychological Hypnosis (divisi
kerja dari American Psychological Association) memberikan definisi
mengenai hipnosis (hipnotis), yakni teknik terapi di mana clinician (ahli
psikologi, dokter, dsb) membuat saran atau sugesti kepada individu yang telah
menjalani prosedur yang dirancang agar santai dan fokus pada pikiran mereka.
Dengan menggunakan metode ini, subjek
dipandu terapis dan diberikan saran atau sugesti dengan tujuan perubahan
pengalaman subjektif, perubahan persepsi, sensasi, pikiran emosi, atau
perilaku. Jika sugesti yang diberikan direspon secara baik oleh subjek, maka hipnosis ini
dinilai berhasil.
Selain hipnotis, metode yang
dilakukan oleh Dokter Chintya adalah teknik asosiasi bebas. Ketika saya
membaca dan sampai pada bagian ini, heum, saya berpikir bahwa Dokter Chintya
adalah seorang psikoanalisis. Lalu apa yang dimaksud dengan asosiasi bebas?
Jika teman pembaca lainnya pernah melihat
film yang dibintangi oleh Keira Knightley dengan judul A Dangerous Method,
maka kita akan dapat melihat salah satu scene di mana tokoh Carl Jung
tengah melakukan teknik ini kepada istrinya. Asosiasi bebas adalah
teknik yang digunakan dalam terapi psikoanalisis. Teknik ini membuat klien
(subjek) untuk mengatakan segala hal yang muncul dalam keadaan sadar secara
leluasa. Teknik ini merupakan teknik pokok dalam psikoanalisis yang dikembangkan
oleh Sigmund Freud. Tujuan dari teknik ini sendiri adalah untuk mengungkapkan
keadaan alam bawah sadar subjek terhadap perilaku yang dianggap subjek
mengganggu atau menyimpang menurut orang lain.
Bagaimana prosedurnya? Jika teman pembaca
lainnya telah membaca buku ini, maka teman-teman dapat menemukan penerapan
teknik ini di halaman 125-126, yakni terapis memberikan sebuah kata kepada
subjek kemudian subjek diminta untuk menjawab dengan kata pertama yang muncul
dalam pikiran subjek. Mungkin teman-teman juga pernah melakukan ‘permainan’
seperti ini, yang tanpa teman-teman sadari bahwa ‘permainan’ tersebut adalah
bagian dari teknikasosiasi bebas.
Nah, salah satu catatan saya untuk buku
ini adalah mengenai teknik yang digunakan, kenapa? Berdasarkan yang saya
ketahui, bahwa teknik asosiasi bebas dilakukan dalam keadaan subjek
sadar, tetapi Dokter Chintya di sini melakukan hipnosis terlebih
dahulu, tujuan hipnosis mungkin ditujukan agar Rasi merasa rileks,
tetapi entahlah. Jika teman pembaca lainnya mempunyai pengetahuan lebih lanjut
mengenai hal tersebut, bisa berbagi dengan yang lainnya melalui kolom komentar
yang telah tersedia.
“Karena dalam ibadahku, ritual yang masih
belum kulaksanakan hanyalah mencintaimu”, (dari buku harian Rasi)
Selamat membaca!
Terjawab sudah kenapa dokter chyntia bermain-main kata dengan Rasi. Dan cukup cepat juga ya bisa menangkap asosiasi kata yang dilemparkan.
BalasHapusSaya setuju untuk komentar kalau AGA memang yang paaaling 'normal' dan segala sesuatu tentangnya mengalir aja gitu.
Sebut nama aga serebu kali
Yeay, puja Aga seribu kaliiiiiii....
HapusYaps, lumayan cepet, harusnya diberi porsi agak panjangan dikit, hehehehehehe...