[Ulasan Buku] - SAYU, Kumpulan Cerita Pendek



Judul: SAYU, Kumpulan Cerita Pendek | Penulis: Korrie Layun Rampan
Penerbit: Grasindo | Jumlah Hlm.: 133 hlm
Cetakan  Pertama, 2004 | ISBN: 979-732-758-2
Rating Buku: 3.5/5

SAYU—merupakan kumpulan cerita pendek (cerpen) yang ditulis oleh Korrie Layun Rampan, buku yang terdiri dari 14 cerpen yang mana kesemuanya terbagi menjadi dua bagian karena perbedaan masa penulisannya. Sembilan cerpen merupakan karyan Korrie pada rentang tahun 70-an, sedangkan lima sisanya merupakan karyanya pada tahun 2000-an, maka tak heran jika antara dua bagian tersebut mempunyai perbedaan gaya penulisan meskipun gaya bercerita Korrie akan tetap sama saja atau bisa dibilang cukup konsisten.

Korrie Layun Rampan, penulis kelahiran Samarinda ini sebelumnya saya kira adalah seorang penulis wanita, maka maafkan atas kekeliruan saya ini—setelah saya membaca untuk pertama kalinya buku karya beliau, maka dari sinilah saya mengetahui bahwa beliau adalah seorang penulis laki-laki, sebab selain nama yang cukup mengecoh, gaya menulis beliau saya kira cukup feminim dan halus layaknya penulis wanita pada umumnya.

Dari keempat belas cerpen yang tergabung dalam buku ini, SAYU adalah salah satu cerpen yang ada di antaranya—entah alasan khusus apa yang menyebabkan judul cerpen ini sekaligus dijadikan sebagai judul bukunya, saya tidak terlalu yakin atau lebih tepatnya tidak mengetahuinya. Apakah SAYU merupakan karya favorit si penulis? Ataukah SAYU merupakan cerita yang secara khusus merupakan pengalaman pribadi dari penulis? Sekali lagi, entah apa jawaban yang pasti atas pemilihan judul buku ini.

Sebagai orang yang telah membaca buku ini, pendapat subjektif saya mengapa SAYU dijadikan judul dari buku ini tidak lain karena baik SAYU ataupun ketiga belas cerpen lainnya memiliki satu kesamaan tema yang tidak bisa dipungkiri, yakni ‘sayu’ itu sendiri. Bagaimana tidak? Salah satu makna dari kata ‘sayu’ itu sendiri adalah ‘suram’, lalu bagaimana hubungannya dengan buku ini? Ya, keempat belas cerpen tersebut mempunyai kesuraman secara khusus menurut saya. Entah saya yang terlewat atau kurang wawas atas isinya, karena dari kesemuanya ini saya tidak merasakan akhir atau rasa kebahagian secara khusus yang diceritakan.

Buku ini menurut saya tergolong unik, bagaimana tidak? Dalam ceritanya, nama tokoh yang terpisah antara satu cerpen dengan cerpen lainnya hampir mempunyai kesamaan—sebut saja Sri, Harti, Yos, Yus, Sri Harti, dsb. Nama-nama itu yang akan sering diulang di cerita satu dan yang lainnya. Selain nama dan tema yang secara khusus sama, buku ini melalui cerpen-cerpen yang ada di dalamnya telah berhasil membuat saya mengerutkan kening beberapa kali, tidak hanya sekali saya mengulangi satu paragraf, jika saya tak terlalu paham dengan satu paragraf atau bahkan satu halaman maka tak jarang saya membaca ulang keseluruhan isinya. Hal tersebut entah disebabkan karena saya sedang tidak konsen atau bagaimana, tapi memang benar, bahwa buku ini mempunyai daya tarik pada cara penulis memberikan kejutan-kejutan yang luar biasa pada tiap akhir cerita. Jadi, pada saat akhir membaca sebuah bagian saya berpikir, “jadi, yang tadi khayalan aja?”, seperti itulah kesan berulang yang saya alami saat membaca buku ini.

Satu lagi kesamaan untuk keempat belasnya, latar tempat yang diambil pada tiap bagiannya, sebagian besar cerita ini mengambil tempat di kawasan Kalimantan—meskipun hal ini akan sedikit sulit untuk disadari pembaca yang belum pernah mengenal tempat-tempat yang saya maksudkan. Sebut saja Ngenyan, Jaras, Melak, Barong Tongkok, dan lain sebagainya—sebelumnya saya tidak pernah tahu bahwa ada tempat yang bernama seperti tempat yang tadi saya sebutkan, secara ‘tiba-tiba’ penulis hanya menyebutkan ‘Ngenyan’ dan lainnya secara begitu saja, tidak ada penjelasan atau keterangan tambahan yang memberikan informasi kepada pembaca bahwa tempat-tempat tersebut merupakan bagian dari Kalimantan. Jadi, kalaupun akhirnya pembaca menyadari atau mengetahui di mana letak tempat tersebut, hal ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sekadar sadar. Meskipun sebenarnya hal ini mudah saja langsung kita hubungkan dengan asal si penulis, yakni Samarinda—tapi, tetap saja kurangnya penjelasan atau eksplorasi dari nama-nama tempat tersebut merupakan satu kekurangan dalam buku ini, sehingga pemilihan tempatnya secara sekilas hanya akan berkesan sebagai tempelan saja yang mana untuk melengkapi bahwa sebuah cerita mestilah mempunyai latar tempat di mana cerita tersebut berlangsung.

Lalu berbicara mengenai konten dari keempat belasnya, secara keseluruhan buku ini bercerita tentang kisah cinta muda-mudi, meskipun secara apik si penulis menyelipkan isu-isu sosial atau politik di dalamnya. Beberapa cerpen sempat menyinggung isu peristiwa 1998 dan yang lainnya adalah isu perihal HPH yang berada di daerah Kalimantan, keduanya disebutkan beberapa kali dalam buku ini melalui cerita dengan judul terpisah.

Tema, penamaan tokoh, latar tempat, isu—selain itu ada satu keunikan lagi dari buku ini, yakni bagaimana si penulis menjelaskan karakter wanita, karakter secara keseluruhan, mereka lagi-lagi mempunyai kesamaan, yakni wanita cerdas sekaligus keras kepala (dalam hal ini keras kepala menurut saya mempunyai konotasi yang positif, karena sama dengan teguh pendirian—jika dilihat dari karakter yang ada).

Sebagai tambahan, bahwa Korrie adalah penulis yang terbilang aktif dalam bidang sastra, ia bergabung dalam Persada Studi Klub—sebuah klub sastra yang dinaungi oleh penyair Umbu Landu Paranggi, dan dari kelompok ini lahir sastrawan-sastrawan ternama di Indonesia seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi, Eko Tunas, Akhmad Munif, Ebit G. Ade, dls (nama-nama ini juga akan kita temui sebagai tokoh-tokoh yang menjadi teman oleh tokoh utama pada tiap cerita)—maka tak ayal jika di SAYU pembaca akan menemukan banyak puisi yang diselipkan sebagai penyempurna tiap cerita. Meskipun puisi yang digunakan sebagian besar adalah karya sastrawan lainnya seperti Asri Rosdi, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, dan Leo Agusta—hal ini mengifersikan bahwa Korrie adalah penulis yang tidak jauh dari dunia sastra.

Kemudian, dari keempat belasnya—ada satu judul yang pada saat membacanya saya merasakan gemas yang luar biasa besar dan bahkan hal ini juga sama dengan apa yang dirasakan oleh si tokoh—adalah MUAL, cerpen kedua belas dari urutan yang ada dan kemudian saya baca, bagaimana tidak? Bunyi kriiinnnggg yang terlalu sering bahkan mengisi pada tiap awal paragraph membuat saya ikut merasa mual dan terbersit, “tolong, biarkan saya mengerjakan ini dulu!”

Sebagai rekomendasi bacaan, saya cukup menyarankan agar teman-teman menyempatkan untuk membaca SAYU, sebagai tambahan khazanah pembaca lainnya.

“Ingatlah sebisamu segala yang baik. Dan, cintaku yang kekal.” (Buku Harian Kekasih, pada SAYU, halaman 71)




Komentar

  1. Nama daerahnya unik2 ya, mba. Jadi penasaran sama bukunya karena quotesnya bagus. aakk, aku udah lama ga baca kumcer. huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mba.. Nama daerahnya unik-unik, dan sebagian besar saya baru tahu perihal daerah-daerah tersebut. Hihihihi, untuk quote, itu saya ambil dari cerita yang paling syahdu...

      Terima kasih, Mba, atas kunjungannya... ^^

      Hapus
  2. Kriing...baru memulai sesuatu kemudian berbunyi kembali kriiing. Saya justru teringat film Horor 1408 saat lagu carpenters benar2 mengganggu dan mengubah 'fungsi' dari lagu ciamik menjadi lagu horor.

    Mungkin rasa mual itu seperti itu? Entahlah ~

    BalasHapus

Posting Komentar