[Ulasan Buku] - PULANG
Judul: PULANG | Penulis: Toha Mohtar
Penerbit: Pustaka Jaya | Jumlah Hlm.: 104 hlm
Cetakan Kedelapan, 2000 | ISBN: 979-419-131-0
Rating Buku: 5/5
PULANG—adalah roman yang ditulis oleh Toha Mohtar dan pertama kali
diterbitkan pada tahun 1958 yang juga mendapatkan hadiah sastra nasional dari
Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) pada tahun yang sama. Roman pada
awalnya tidak sekaligus merupakan buku, melainkan adalah dimuat secara
bersambung dalam majalah dan pernah diadaptasi juga oleh Turino Djunaidi dalam
bentuk film untuk sebelumnya menjadi sebuah buku.
Roman ini bercerita sebuah kepulangan seorang pemuda bernama Tamin yang
telah selama tujuh tahun meninggalkan kampungnya untuk berperang dan menjadi heiho. Heiho, adalah dosa dan masa lalu
kelam penuh darah yang tak akan pernah dilupakan Tamin, adalah satu-satunya hal
yang akan menjadi momok luar biasa menakutkan pada sisa kehidupan Tamin, dan
adalah sebuah malu yang luar biasa besar atas dirinya terhadap negara terutama
keluarga dan kampungnya. Heiho, jalan yang tak pernah ia mengerti sebelumnya,
bahwa dengan bergabung dengan heiho adalah sebuah hal yang benar, ya, dulu dia
berpikir demikian karena termakan propaganda Jepang di masanya—dan hal ini
sangat ironis dengan kenyataan bahwa kampungnya adalah salah satu kampung yang
pada masa penjajahan mempunyai sumbangsih yang besar bagi negara.
Pulang mengambil latar tempat di sebuah kampung di kaki Gunung Wilis, yang
secara apik hal ini dijelaskan oleh Toha Mohtar. Toha dengan kemampuan
berbahasa yang luar biasa gemilang dapat membawa pembaca khususnya saya terhanyut
dengan deskripsi kampung tempat Tamin berpulang. Meskipun kata-kata yang
digunakan menurut saya sangat sederhana, tidak dengan menggunakan
istilah-istilah yang sulit dimengerti pembaca, malah hal ini menambah unsur estetika
pada roman Pulang—bahasa sederhana dengan sensasi luar biasa.
“Matahari telah menyembunyikan diri seluruhnya di balik Gunung Wilis, tinggal cahayanya yang bertambah lemah menembusi langit dan memberikan ciuman terakhir pada mendung yang berarak-arak di atas kepala. Turunnya senja kala itu disambut oleh kesepian; burung-burung yang pulang sarang malas berkicau.” (Pulang, halaman 7)
Ini bukanlah kali pertama saya membaca buku ini, akan tetapi karena jarak
yang begitu panjang yakni kurang lebih 12 tahun lamanya setelah saya membacanya
pertama kali, maka seperti udara segar—roman yang ditulis oleh Toha ini
memberikan pasokan oksigen baru bagi otak saya. Perbedaan pemahaman saya yang
sekarang dengan saya yang dulu, hal ini merupakan salah satu sebab yang
membedakan. Dulu, saat membaca buku ini tiada rasa haru atau terhanyut pada
tiap katanya, dan sekarang? Dari bab pertama Pulang, saya telah berhasil
dibuatnya larut, seperti tidak akan melepaskan buku ini sebelum saya
menuntaskannya—seperti janji yang harus serta merta dipenuhi. Di samping karena
jumlah halaman yang hanya 104, maka bukan suatu masalah yang besar untuk segera
menyelesaikan membaca buku ini. Bahkan, pada salah satu bagiannya, saat Tamin
memutuskan untuk menembangkan Asmarandana ketika bahagia merayapi hatinya dan
inginnya membahagiakan orang-orang di kampungnya lewat tembang tersebut—saya dibuatnya
menangis sejadi-jadinya, apa pasal? Sekali lagi Toha telah berhasil membuat
saya larut begitu dalam pada bukunya, mengingatkan saya pada kampung halaman
saya, mengingatkan saya pada siang yang terik sekaligus siang yang menyenangkan
karena saya bisa menikmati tembang serupa yang disenandungkan oleh nenek atau
bapak pada masanya.
Pulang terdiri dari delapan bagian, yang mana secara kesulurahan konflik
yang dialami oleh Tamin telah terasa pada awal bab. Tidak seperti buku-buku
lainnya yang pembaca harus berkenalan dan diajak mengerti dengan siapa si
tokoh, Pulang , dari bab pertama telah membawa konflik yang sederhana sekaligus
rumit. Konflik ini dibangun secara perlahan tetapi pasti, konflik psikologis
(batin) Tamin atas keputusannya untuk kembali pulang di kampung halamannya. Sekali
lagi, Toha lewat kesederhanaan berceritanya bisa mengajak pembaca untuk juga
merasakan konflik yang dialami tokohnya—konflik psikologis yang diceritakan
secara liris.
“Kukira, bahagia tidaklah jika kita dapat hidup seperti yang lain lantaran itu berumah di dasar hati kita sendiri. Dan kunci untuk membukakan itu kita dapati di mana-mana.” (Pulang, halaman 93)
Bayang-bayang masa lalu yang menghantui Tamin adalah ketakutan yang bisa
menelannya setiap saat, ketakutan yang juga membuatnya pergi kedua kalinya dan
meninggalkan keluarganya, meninggalkan harapannya, meninggalkan cinta yang masih
hangat di hatinya—meninggalkan segala hidupnya yang baru saja dimulai. Apakah
Tamin akan berkeras hati pada ketakutannya? Dan tak akan pulang kembali pada
pangkuan ibunya? Tapi, di luar itu semua sang ayah tetap percaya bahwa Tamin
akan pulang pada akhirnya.
Selama membaca roman karya Toha ini, saya tidak menemukan adanya kurang. Semuanya
harmonis, semuanya sesuai dengan porsinya, tak berlebih namun tiada kurang sama
sekali. Bahkan, roman ini secara halus mengingatkan saya pada salah satu rahmat
Tuhan yang oleh sebagian besar orang dirasa menjemukan dan jarang yang
menyadari hadirnya.
“Hujan malam ini membawa rahmat untuk rumah kita, Tamin. Kita menginjak tanah sendiri. Dan besok malam akan hujan lagi. Tuhan! Turunkanlah hujan sebanyak-banyaknya, curahkan airmu untuk sawah kita. Dan lusa, hari akan hujan lagi. Hujan, hujan, hujan, dan kita akan dapat menanam bibit.” (Pulang, halaman 39-40)
Dan, pada akhirnya saya akan merekomendasikan buku ini kepada teman-teman
pembaca lainnya. Jika teman-teman adalah pembaca yang haus dengan karya
sederhana namun sarat makna dan tiada porsi berlebih pada penceritaannya, maka
PULANG adalah pilihan yang tepat. Selamat membaca.
Atau bisa saja, karena kondisi empunya blog juga berjarak pada rumah yang senantiasa dikaitkan dengan kata pulang.
BalasHapus