[Resensi Film] - Inside Out (2015)
Sumber gambar: Google.com |
Judul Film : Inside Out | Sutradara : Pete Docter, Ronnie Del Carmen | Produser : Jonas Rivera | Pemeran : Amy Poehler, Bill Hader, Lewis Black, Mindy Kaling, Phllis Smith | Produksi : Walt Disney Pictures, Pixar Animation Studios | Genre : Adventure, Drama, Family, Comedy, Animation, Fantasy | Durasi : 94 minutes
Inside Out adalah film
animasi yang diproduksi oleh Pixar
Animation Studios dan dirilis oleh Walt
Disney Picture pada tahun 2015. Pusat dari cerita film ini adalah Riley
Andersen, seorang anak perempuan berusia 11 tahun—dengan kelima emosi dasar
yang dia miliki, yakni Joy,
Sadness, Fear, Anger, dan Disgust, di mana kelima emosi dasar yang
dimilikinya ini merupakan pusat kontrol yang mengendalikan semua tingkah laku
Riley sehari-hari.
Pete Docter memulai untuk membangun ide cerita ini pada
tahun 2009, saat dia merasakan ada sesuatu yang berubah dari diri anak
perempuannya seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam proses
pembuatannya, film ini secara khusus menggandeng Dacher Keltner, seorang
profesor psikologi Universitas California dan Paul Ekman, seorang psikolog yang
menjadi perintis dalam studi emosi dan hubungannya dengan ekspresi wajah.[1] Kedua ahli ini menjadi
penasehat dalam pembuatan storyline
dan keseluruhan skenario yang ada di dalamnya, ya, seperti yang kita ketahui
bahwa di dalam film Inside Out banyak sekali memasukan unsur-unsur yang sebenarnya
bisa dibilang sangat scientific,
seperti pemakaian istilah memori jangka panjang, pusat pengendali bahasa, unconscious mind, sistem pemrosesan
informasi, dll—karena, ya, menurut saya pribadi hal ini tidak lain disebabkan
ide awal yang mendasari film ini adalah “emosi manusia” dan “sistem pemrosesan
informasi”, yang keduanya berasal dari inti yanga sama, yakni psikologi atau
lebih tepatnya adalah neuropsikologi.
Sumber gambar: Google.com |
Seorang anak perempuan bernama Riley yang dilahirkan di
Minnesota, pada awalnya menjalani kehidupannya dengan baik-baik saja bersama
keluarga dan teman-teman yang mencintainya. Hidup dan dibesarkan dalam
lingkungan yang nyaman dan penuh dengan penerimaan terhadap diri kita adalah
hal yang sangat diinginkan oleh semua orang, termasuk Riley—maka, saat dia dan
keluarganya pindah ke sebuah kota yang lebih besar dengan lingkungan yang
benar-benar baru, yakni San Fransisco, tentu saja membuat seorang Riley seperti
kehilangan kestabilan hidupnya. Ya, siapa yang rela berpisah dengan teman-teman
dan sekolah yang kita cintai? Siapa yang ingin dipisahkan dari regu hoki tempat
kita dapat menemukan banyak pelajaran dalam hidup kita (ya, itu untuk yang
bermain dan tergabung dalam tim hoki saja)? Dan pastinya, siapa yang rela untuk
menukar langit-langit kamar kita yang telah lama menjadi teman tidur kita?
(halah, Mba).
Pada saat awal kehidupan Riley, bola ingatan bewarna kuning
yang menyimpan memori bahagia dalam kehidupan Riley-lah yang mendominasi ruang
memori Riley. Namun, beriring dengan bertambahnya usia Riley, dominasi warna
kuning tidak lagi ditemukan, melainkan bola-bola ingatan yang dihasilkan oleh
apa yang dilalui Riley kini menjadi lebih kompleks. Ya, tak selamanya kita
menjadi manusia akan selalu bahagia, ada kalanya kita merasa sedih, terpuruk,
tersakiti, marah, benci, dan lain sebagainya.
Kelima emosi dasar yang mengontrol Riley ini berdiam di
sebuah markas besar yang bernama Headquarters,
di sinilah mereka memutuskan emosi mana yang lebih tepat untuk mengambil
kontrol terhadap Riley untuk menghadapi situasi yang tengah dihadapi. Kelimanya
bekerja dan mendampingi Riley sepanjang hari, dan selesai ketika Riley sudah
tertidur. Bola-bola ingatan yang dihasilkan oleh kelimanya ini akan dikirimkan
ke tempat penyimpanan memori jangka panjang, yang jika dibutuhkan maka
memori-memori ini akan dipanggil lagi atau di-recall oleh sistem kendali (ini sama dengan sistem pemanggilan
informasi kembali yang dilakukan oleh otak manusia).
Semuanya semakin tidak terkendali ketika Joy harus fokus
terhadap Sadness yang gemar sekali berusaha menyentuh bola bewarna kuning yang
berisi memori kebahagiaan, yang mana artinya jika memori kebahagiaan itu
berhasil disentuh oleh Sadness maka memori itu akan berubah menjadi memori
kesedihan. Joy tidak ingin semua memori inti yang dimiliki oleh Riley berubah
menjadi sebuah kesedihan, dan usaha Joy mempertahankan semuanya itu berujung
pada tersedotnya Joy dan Sadness secara bersama-sama dan terbuang di sebuah
ruang penyimpanan memori jangka panjang yang tidak mempunyai ujung.
Di samping itu, terjadi kerusuhan di Headquarters, ketiga emosi yang tertinggal berusaha untuk menjadi
sosok Joy saat Riley pertama kali masuk sekolah. Tapi, bagaimanapun mereka
mencoba tentu saja tidak akan berhasil dan, well,
semuanya berakhir dengan kacau. Dan, setelah itu, di hari-hari berikutnya Riley
tidak merasa baik-baik saja hingga akhirnya dia merasa frustrasi dan ingin
kembali ke Minnesota.
Secara keseluruhan, saya menyukai film ini, berangkat dari
sebuah ide sederhana yakni emosi manusia dan sistem pemrosesan informasi, film
ini merupakan eksekusi yang saya berani bilang sangat apik dan brilliant. Ya, ide serupa itu bisa jadi
telah dimiliki dan terpikirkan oleh orang lain sebelumnya, tapi ya, weel, tidak semuanya bisa mempunyai
kesempatan dan peluang untuk meneruskan ide mereka. Sebelumnya saya telah
mengecek ke beberapa sumber lainnya untuk melihat berapa rating yang mereka berikan, dan hasilnya tentu saja tidak terlalu
mengejutkan jika kita telah melihat film ini sebelumya. Sebut saja Rotten Tomatoes, mereka memberikan rate 98%, dan IMDb, mereka memberikan rate 8.6/10—tinggi bukan? Dan, saya
sangat merekomendasikan film ini, meski saya memberikan bintang 4/5. Tapi,
patutlah dijadikan pertimbangan untuk mengisi waktu kosong di akhir pekan kita
semua.
Komentar
Posting Komentar