[Fiksi] - Selembar Lima Ribu
Hari senin, 10 menit lagi adalah pukul 7, di mana aku
dan adikku saat ini seharusnya sudah ada di sekolah kami. Tapi tidak, kami
berdua masih ada di rumah, tetapi telah lengkap dengan seragam kami
masing-masing. Aku dengan setelan putih abu-abu, dan adikku dengan setelan
putih birunya. Kami berdua telah siap untuk berangkat sedari pukul enam tadi,
kami sudah sarapan dengan sisa nasi semalam dan kerupuk yang sudah tak bisa
dibilang renyah lagi. Kami berdua duduk di dipan kayu yang ada di ruang depan,
sambil mengayunkan kaki kami, kami berdua terpaku pada pagar bambu rumah kami,
berharap sosok yang kami tunggu segera datang melewati pagar bambu itu.
Adikku sudah ingin melepas seragam sekolahnya, tapi ibu
kami melarangnya. Ibu berkata bahwa kami harus tetap sekolah. Baiklah, maka
kami berdua kembali menunggu. Aku takut ibuku lupa akan jarak sekolah kami yang
lumayan jauh, bisa menghabiskan waktu sekitar 30 menit untuk ke sekolah,
sedangkan saat ini hanya tersisa waktu yang tak lebih dari 10 menit dari jam masuk
sekolah kami. Terlebih lagi, sekarang adalah hari Senin, ah sudahlah Bu, kami ingin bolos saja hari ini, ingin sekali aku
berkata demikian.
Setelah hampir satu jam kami menunggu, sosok yang kami
tunggu akhirnya tampak, ayah, dengan napasnya yang terengah-engah dia melewati
pagar rumah kami dengan penuh hati-hati, apakah
Ayah tidak tahu bahwa kami telah terlambat untuk ke sekolah? Ingin sekali
aku berteriak seperti itu. Ah, tentu saja tidak aku lakukan, aku hanya diam,
mengharap bahwa penantian kami tidak berujung pada sia-sia.
“Iki limangewu, dibagi cah loro. Pa’e mok intuk
silehan sak mono thok.”[1]
Sambil berlalu ke ruang tamu ayah memberikan selembar uang lima ribu rupiah
kepada kami. Lima ribu, dibagi untuk berdua? Padahal ongkos angkutan umum saja
saat ini sudah seribu rupiah adanya, aku ingin protes dengan uang saku yang
hanya lima ratus rupiah sisa dari ongkos angkutan ke sekolah.
Penantian kami hanya untuk selembar uang lima ribu,
tapi, sudahlah.
Komentar
Posting Komentar