[Fiksi] - Makan Malam Kami
Pukul 5 lewat 45 menit. Sudah lebih dari 30 menit yang
lalu ayah pergi ke sebuah acara kenduri yang diadakan oleh tetanggaku. Biasanya
tak selama ini ayah pergi, apa mungkin karena hujan? Maka ayah agak lama dari
biasanya? Ah, aku tak terlalu memikirkan berapa lama ayah pergi, yang aku
pikirkan saat ini adalah makan enak, ya, makan enak.
Tiap ada tetangga kami yang mengadakan acara kenduri, aku dan adikku dapat makan enak, meski menurutku menu yang mereka berikan hanya itu-itu saja. Telur rebus, mie goreng, sayur nangka muda, dan kentang yang mereka olah dengan bumbu balado, seperti itulah menu yang selalu mereka berikan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, itu adalah menu besar buatku dan adikku, karena ibu jarang sekali dapat menghidangkan menu-menu lengkap di meja makan kami. Maka bagiku dan adikku, ketika ada seorang tetangga yang datang dan mengundang ayah ke acara kenduri, kami menganggap tetangga-tetangga itu adalah jelmaan malaikat yang memberikan kabar baik untuk kami.
Tiap ada tetangga kami yang mengadakan acara kenduri, aku dan adikku dapat makan enak, meski menurutku menu yang mereka berikan hanya itu-itu saja. Telur rebus, mie goreng, sayur nangka muda, dan kentang yang mereka olah dengan bumbu balado, seperti itulah menu yang selalu mereka berikan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, itu adalah menu besar buatku dan adikku, karena ibu jarang sekali dapat menghidangkan menu-menu lengkap di meja makan kami. Maka bagiku dan adikku, ketika ada seorang tetangga yang datang dan mengundang ayah ke acara kenduri, kami menganggap tetangga-tetangga itu adalah jelmaan malaikat yang memberikan kabar baik untuk kami.
Aku dan adikku, Mila, masih berdiri di teras. Kami
ingin menyambut kedatangan ayah dengan menu makan malam kami di tangannya,
meskipun ibu sudah menyuruh kami untuk masuk ke dalam rumah beberapa kali, kami
masih ingin menunggu ayah, dengan menu makan malam kami di tangannya.
Dari ujung gang tempat tinggal kami, seorang tetangga
yang aku kenal berjalan cepat ke arah kami. Aku dan adikku bersorak, tak lama
lagi pasti ayah dengan menu makan malam di tangannya akan segera tampak juga.
Tetanggaku, Pak Kasmiran, mencari ibuku. Aku berlari ke
belakang untuk memanggil ibu, tak lama aku dan ibu sudah menyusul Pak Kasmiran
di teras.
“Ngapunten, Bu Karjo. Bapak’e lare-lare jawah, sak niki
ajenge dibetho teng Puskesmas, tiange semaput.”[1]
Ya, begitulah pesan yang disampaikan oleh Pak Kasmiran. Aku melihat ibuku yang
mulai menangis, adikku juga. Tapi aku tidak.
Aku bergegas menutup pintu rumah, kugandeng adik dan ibukku
untuk menyusul ayah ke Puskesmas, untuk menjemput makan malam kami.
Komentar
Posting Komentar