[Alih Bahasa] - THE WIND CAVE by HARUKI MURAKAMI
Sumber Gambar: ibighit |
THE WIND CAVE by Haruki Murakami
Diterjemahkan oleh Tri Astuti Utomo
K
|
etika aku berusia lima belas tahun, adik perempuanku
meninggal. Kepergiannya begitu tiba-tiba. Saat itu dia berusia 12 tahun, dan
itu merupakan tahun pertamanya di sekolah menengah. Dia terlahir dengan
gangguan jantung, tetapi sejak operasinya yang terakhir saat dia berada di
tahun terakhir sekolah dasar, dia tak lagi memperlihatkan gejala-gejala
penyakitnya, melihat hal ini keluargaku merasa tenang, dan berpegang pada
harapan yang hampir mustahil bahwa adikku dapat meneruskan hidupnya tanpa
masalah yang berarti. Tetapi, di bulan Mei tahun itu; detak jantungnya kembali
tak teratur. Hal itu akan semakin memburuk ketika dia berbaring, dan setiap
malam dia menderita karena kesusahan tidur. Dia menjalani pemeriksaan di Rumah
Sakit Kampus, tapi tak peduli seberapa detail pemeriksaan yang dilakukan,
dokter-dokter yang memeriksanya sepertinya tak cukup mampu untuk memberikan
penanganan yang tepat sehingga memberikan perubahan yang berarti pada
kondisinya. Penyebab dasar dari kondisi adikku seolah-olah terselesaikan dengan
operasi, dan hal ini membuat tim dokter kebingungan, melihat fakta yang
bertolak belakang.
“Hindari aktivitas berat, kerjakan rutinitas
sehari-hari, dan segala sesuatunya akan membaik,” dokter menjelaskan. Mungkin
hanya hal itu yang bisa ia katakan. Lalu dokter menuliskan resep-resep
untuknya.
Akan tetapi aritmia yang ia derita tak juga membaik.
Seperti ketika aku duduk di seberangnya di meja makan, aku seringkali melihat
dadanya dan membayangkan jantung yang tersimpan di dalamnya. Dadanya mulai
tumbuh. Di dalam dada itu, jantungnya terganggu. Dan meski seorang spesialis
pun tak mampu menemukan kerusakannya. Kenyataan itu sendiri mulai membuatku
kacau. Aku menghabiskan masa remajaku dalam kecemasan, ketakutan, karena kapan
saja, aku bisa saja kehilangan adikku.
Orang tuaku memintaku untuk mengawasinya, sejak
tubuhnya semakin lemah. Ketika kami masih duduk di sekolah dasar yang sama, aku
hampir tak pernah melepaskan pengawasanku darinya. Dan jika dibutuhkan, aku
akan mengambil resiko dalam hidupku untuk melindunginya dan jantungnya yang
lemah itu. Tetapi, kesempatan itu tidak pernah muncul dengan sendirinya.
Dia sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah
ketika ia kolaps. Dia kehilangan kesadarannya saat menaiki tangga di Stasiun
Seibu Shinjuku dan langsung dilarikan dengan ambulans ke rumah sakit terdekat.
Ketika aku mendengar kabar itu, aku langsung menuju rumah sakit, namun ketika
aku sampai di sana jantungnya sudah berhenti berdetak. Semuanya terjadi begitu
saja dalam sekejap mata. Pada pagi itu kami masih sarapan bersama, saling
mengucapkan selamat jalan di depan pintu, aku pergi ke sekolah tingkat atas,
dan dia pergi ke sekolah tingkat menengah. Lalu, ketika sekarang aku melihatnya
lagi, ia tak lagi bernapas. Mata besarnya akan tertutup untuk selamanya,
bibirnya terbuka sedikit, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu.
Dan pada waktu berikutnya aku melihatnya terbaring di
dalam peti. Dia mengenakan gaun hitam favoritnya, ia menggunakan mekap, dan
rambutnya disisir dengan sangat rapi; sambil memakai sepatu kulit hitam, dia terbaring
dengan sangat cantik di dalam peti. Gaunnya berkerah renda putih; sangat putih
sampai terlihat tak alami.
Terbaring di dalam sana, dia terlihat seperti tengah
tidur di dalam damai. Jika tubuhnya diguncang dengan lembut, kukira dia akan
terbangun. Tentu saja hal itu hanya sebuah ilusi. Guncang tubuhnya semaumu—dia tidak
akan pernah lagi bangun sampai kapan pun.
Aku tidak ingin tubuh mungil adikku seperti
terperangkap dalam tempat sempit itu—sebuah peti mati. Aku merasa, seharusnya
tubuhnya bisa mendapatkan tempat yang lebih lapang daripada sekadar sebuah peti
mati. Seperti di tengah-tengah padang rumput, misalnya. Maka, ketika kami
datang mengunjungi dalam hening, kami bisa melewati hamparan rumput hijau yang
subur. Angin berdesir lembut membelai rumput-rumput, dan burung-burung dan juga
serangga-serangga akan saling bersahutan di sekelilingnya. Aroma bunga-bunga
liar akan memenuhi udara, dengan serbuk sari berputar di sekitarnya. Ketika
malam tiba, langit yang menaunginya akan dipenuhi titik-titik bintang berwarna
perak yang tak terhitung jumlahnya. Saat pagi, matahari baru akan membuat embun
pada tiap helai rumput berkilau seperti berlian. Tapi, dalam kenyataannya, dia
terperangkap dalam sebuah peti aneh. Satu-satunya hiasan yang mengelilingi petinya
hanya bunga-bunga putih membosankan yang telah dipotong dan disimpan di dalam
vas. Ruangan sempit itu diterangi dengan pencahayaan yang hampir pudar. Dari
pengeras suara yang terpasang di langit-langit, terdengar alunan musik organ.
Aku tidak bisa terus tinggal untuk melihat proses
kremasinya. Ketika peti tertutup dan dikunci, aku memutuskan untuk meninggalkan
ruangan itu. Aku sama sekali tidak membantu keluargaku untuk mengumpulkan abu
dan tulangnya kemudian menaruhnya ke dalam sebuah pasu. Aku berdiam di halaman
krematorium dan menangis tanpa suara sendirian. Selama waktu hidupnya yang
pendek itu, aku sekalipun tak pernah membantunya, pikiran itulah yang
menyiksaku.
Setelah kematian adikku, keluargaku berubah. Ayahku
menjadi lebih pendiam, ibuku selalu merasa khawatir dan gelisah. Pada dasarnya,
aku menjalani hidupku dengan cara yang sama. Aku bergabung dalam klub pendaki
gunung di sekolah, hal itu membuatku untuk tetap sibuk, selain itu aku juga
mulai melukis. Guru Seniku menyarankan agar aku mencari instruktur seni
yang bagus dan memintaku untuk lebih serius. Hingga akhirnya aku mulai
menghadiri kelas seni dan benar-benar mempelajarinya. Kupikir aku hanya mencoba
untuk tetap sibuk, agar aku tak lagi memikirkan tentang kematian adikku.
Untuk waktu yang cukup lama—aku tak terlalu yakin
berapa tahun—kedua orang tuaku membiarkan kamarnya tetap pada posisi semula.
Buku pelajaran dan buku panduan, pensil-pensil, penghapus, dan beberapa
penjepit kertas tetap tersusun rapi di atas meja belajarnya, sprei, selimut,
dan bantal di atas tempat tidurnya, tumpukan piyama yang telah dicuci dan
terlipat, seragam sekolah menengahnya tergantung di lemari—semuanya tak
tersentuh. Kalender yang tergantung di dinding juga masih menampakkan catatan
kecil harian yang ia tuliskan. Semuanya dibiarkan sama persis pada saat ia
meninggal, seolah-olah waktu benar-benar beku tepat saat ia meninggal. Kadang
aku merasa seolah-olah pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan ia muncul kapan
saja. Ketika tak ada orang lain di rumah, aku kadang sengaja masuk ke kamarnya,
hanya untuk sekadar duduk di atas tempat tidurnya yang tertata rapi, sembari
memandangi semua hal yang ada di sekitarku. Tetapi, aku tak pernah menyentuh
apa pun. Aku seperti tak ingin mengganggu, sekecil apa pun, semua hal bisu di
sini bagiku seperti memberi sebuah tanda bahwa adikku dulu pernah hidup di
antara mereka.
Aku seringkali membayangkan kehidupan seperti apa
yang akan dimiliki oleh adikku jika ia tak meninggal pada usia dua belas tahun.
Meskipun sedikit pun aku tak bisa memikirkan apa pun. Hal itu karena untuk
hidupku sendiri saja aku tak tahu akan seperti apa, maka dari itu, aku tak
pernah bisa membayangkan kehidupan apa yang kira-kira bisa ia miliki. Tapi satu
hal yang kutahu, jika saja ia tak memiliki masalah dengan salah satu katup
jantungnya dia akan tumbuh menjadi orang yang kompeten dan menarik. Aku sangat
yakin akan ada banyak laki-laki yang jatuh cinta kepadanya, dan memeluknya
dalam pelukan hangat mereka. Tetapi, aku tidak bisa menggambarkan dengan lebih
jelas lagi. Karena bagiku, dia tetaplah adik kecilku, tiga tahun lebih muda,
yang selalu membutuhkan perlindunganku.
Untuk beberapa saat, setelah kepergiannya, aku
membuat sketsanya lagi dan lagi. Membuat ulang semua gambar yang pernah kubuat,
dari berbagai sudut pandang, semua kenanganku tentang wajahnya, jadi aku tak
akan pernah bisa melupakannya. Bukan berarti suatu saat aku akan melupakan
wajahnya. Karena wajahnya akan selalu terekam dengan jelas dalam ingatanku
hingga aku meninggal nanti. Apa yang kucari adalah bagaimana cara agar aku tak
bisa melupakan wajahnya pada saat kepergiannya. Dan untuk mewujudkannya, adalah
dengan tetap menggambar wajahnya. Saat itu aku hanyalah seorang anak berumur
lima belas tahun, dan pada saat itu aku tidak begitu mengetahui apa pun tentang
memori, menggambar, dan bagaimana cara kerja waktu. Tapi satu hal yang aku tahu
bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk dapat menyimpan kenanganku dengan
benar. Jika kita hanya membiarkannya, maka ia akan hilang di suatu tempat entah
di mana. Seberapa pun jelasnya sebuah memori, semua itu tidak akan ada artinya
jika dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh waktu. Secara naluri, hal
itu bisa aku pahami.
Aku akan duduk dan berdiam diri di atas ranjang di
kamarnya, dan mulai menggambar dirinya. Aku mencoba untuk menggambar ulang di
atas kertas kosong bagaimana rupanya dengan jelas di mataku. Aku tak mempunyai
cukup pengalaman dalam menggambar, atau pun keterampilan secara teknis, jadi
semua itu bukanlah sebuah proses yang mudah bagiku. Aku menggambar, merobeknya,
menggambar lagi, dan merobeknya lagi, hal itu terjadi berulang-ulang tanpa
henti. Namun, jika aku melihat semua gambar-gambar yang masih aku simpan hingga
sekarang (aku masih menyimpan semua gambar-gambarku sejak saat itu), aku bisa
melihat dengan jelas bahwa gambar-gambar itu dibuat dalam perasaan duka yang
mendalam. Secara teknis itu bukanlah gambar yang bagus, namun kesemuanya adalah
hasil karyaku yang aku kerjakan dengan tulus, bisa dikatakan bahwa saat itu
jiwaku berusaha menghidupkan kembali adikku. Setiap saat aku melihat
gambar-gambar ini, aku tak kuasa menahan tangis. Aku sudah membuat banyak karya
sejak itu, namun tak satu pun di antara mereka yang sanggup membuatku menangis.
K
|
ematian adikku memberikan dampak lain dalam hidupku:
sejak saat itu aku sangat takut dengan ruangan sempit, ya, aku menjadi seorang
klaustrofobia. Sejak aku melihat ia dibaringkan dalam sebuah peti yang sangat
kecil dan sempit, dan ketika peti itu mulai ditutup dan dikunci, lalu dibawa
dalam ruang kremasi, aku tak pernah lagi bisa memasuki ruangan sempit dan
tertutup. Untuk waktu yang lama, aku tidak bisa menggunakan elevator. Setiap
saat aku berdiri di depan elevator, yang terbayang di kepalaku hanyalah ketika
elevator itu tertutup akan terjadi gempa, dan aku terperangkap dalam ruang
sempit itu. Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuatku panik.
Gejala-gejala itu tidak langsung terlihat pasca
kematian adikku. Semuanya baru terlihat jelas pada tahun ketiga. Serangan panik
pertama yang terjadi tepat ketika aku mulai memasuki sekolah seni, saat itu aku
bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan pengiriman barang. Di sana aku menjadi
kernet seorang pengemudi mobil boks, bertugas memuat kotak dan memindahkannya
keluar, dan suatu hari terjadi sebuah kesalahan tak disengaja yang menyebabkan
aku terkunci di dalam kompartemen kargo yang telah kosong. Semua pekerjaan
telah selesai dilakukan di hari itu, dan sopir lupa untuk memeriksa apakah ada
orang yang masih tinggal di dalam truk atau tidak. Dia langsung mengunci pintu
kompartemen itu dari luar.
Sekitar dua jam setengah sebelum akhirnya pintu dibuka
dan aku bisa keluar dari tempat itu. Sepanjang waktu itu aku terperangkap dalam
tempat tertutup, dan gelap total. Untung saja itu bukan truk pendingin atau
yang lainnya, jadi masih ada celah untuk udara masuk. Aku tahu, jika aku
berusaha tenang dan berpikir jernih, aku tak akan mati lemas saat itu.
Tapi, tetap saja, serangan panik menguasaiku. Di sana
tersedia banyak oksigen, namun seberapa kuat aku berusaha untuk bernapas tetap
saja aku tidak bisa menyerapnya. Pernapasanku semakin tak beraturan dan aku
mulai merasa hiperventilasi. Aku merasa pusing. “Baiklah, tenang,” aku berkata
pada diri sendiri. “Kau akan segera bisa keluar dari sini. Kau tidak akan mati
lemas di sini.” Tetapi, pikiran logis tak berlaku di sini. Satu-satunya
hal yang terpikir olehku hanyalah adikku, terjebak dalam peti sempit dan
diangkut ke ruang kremasi. Karena ketakutan, aku mulai menghantamkan badanku ke
dinding truk.
Truk itu diparkir di area parkir kantor, semua
pegawai telah menyelesaikan pekerjaannya, dan mereka sudah pulang ke rumah
masing-masing. Tak seorang pun sadar bahwa aku hilang. Aku menghantam dinding
truk seperti orang gila, namun tak seorang pun mendengarnya. Aku tahu, jika
saja aku tak beruntung, aku bisa terkunci di dalam sana sampai pagi. Memikirkan
hal itu, seluruh otot tubuhku terasa hancur.
Saat itu untung saja ada penjaga malam yang
berkeliling di area parkir, dia bisa mendengar keributan yang aku timbulkan,
dan membukakan pintu. Ketika dia melihat keadaanku yang nampak gelisah dan
letih, dia mengistirahatkanku di ruang istirahat di dalam kantor dan memberiku
secangkir teh hangat. Aku tidak ingat berapa lama aku berbaring di sana. Tapi
akhirnya napasku bisa kembali normal lagi. Pagi telah datang, aku berterima
kasih kepada penjaga itu dan menaiki kereta pertama untuk pulang ke rumah. Aku
menyelinap ke kasur dan berbaring di sana, tubuhku terguncang hingga aku merasa
gila dalam waktu yang lama.
Setelah kejadian itu, memasuki elevator adalah sebuah
momok sendiri yang bisa menimbulkan rasa panik. Kejadian itu pasti telah
membangunkan ketakutan yang sebenarnya telah mengintaiku sejak lama. Aku merasa
bahwa hal itu tertanam dari memori kematian adikku. Dan itu tak hanya berlaku
untuk elevator tetapi di semua tempat sempit dan tertutup. Bahkan aku tak bisa
menonton film yang di dalamnya ada adegan yang melibatkan kapal atau tank.
Membayangkan diriku terperangkap di dalam ruang sempit—hanya membayangkannya
saja—sudah membuatku kesulitan bernapas. Seringkali aku meninggalkan teater
bioskop begitu saja. Hal itulah yang menyebabkan aku jarang sekali pergi ke
bioskop dengan orang lain.
K
|
etika aku berusia tiga belas tahun dan adikku berusia
sepuluh tahun, kami berdua pergi ke Prefektur Yamanashi selama liburan musim
panas. Saudara laki-laki ibu kami bekerja di laboratorium di sebuah universitas
di Yamanashi dan kami tinggal bersamanya selama di sana. Itu adalah perjalanan
pertama kami tanpa orang tua. Adikku saat itu sedang dalam keadaan sehat, maka
orang tua kami mengizinkan kami untuk bepergian sendiri.
Paman kami belum menikah (dan sampai sekarang pun
masih lajang), saat itu mungkin dia berusia tiga puluh tahun, setidaknya itu
yang aku pikirkan. Dia melakukan penelitian tentang gen (hingga saat ini), dia
sangat pendiam dan kadang kurasa sangat naif, meski dia berpikiran terbuka dan
cenderung jujur. Dia suka membaca dan mengetahui semua hal yang berhubungan
dengan alam. Dia juga menikmati waktunya dengan melakukan perjalanan ke gunung
lebih dari apa pun, dan katanya itulah sebabnya ia mengambil pekerjaan di
universitas yang terletak di pedesaan, yang dikelilingi pegunungan di
Yamanashi. Baik adikku atau pun aku sendiri sangat menyukai paman kami.
Kami menyandang tas punggung, pergi dengan
menggunakan kereta ekspres di Stasiun Shinjuku menuju Matsumoto, dan turun di
Kofu. Paman kami datang menjemput kami di Stasiun Kofu. Dia berperawakan sangat
tinggi, dan itu membuat kami dengan mudah menemukannya meski stasiun dalam
keadaan ramai. Dia menyewa sebuah rumah kecil di Kofu bersama temannya, namun
saat itu temannya sedang melakukan perjalanan ke luar sehingga kami bisa
menempati kamarnya. Kami tinggal di sana selama seminggu. Dan hampir setiap
hari kami berjalan-jalan bersama paman kami di sekitar pegunungan. Dia
mengajarkan kami berbagai jenis nama bunga dan serangga-serangga. Kami
menyimpan kenangan musim panas itu dengan sangat baik.
Suatu hari kami berjalan sedikit lebih jauh daripada
biasanya dan kami tiba di sebuah Gua Angin dekat Gunung Fuji. Dari sekian
banyak Gua Angin yang terletak di sekitar Gunung Fuji, yang satu ini adalah
yang terbesar. Paman kami bercerita bagaimana gua itu bisa terbentuk. Mereka
terbuat dari basal, jadi jika kita berada di dalamnya kita hampir sama sekali
tidak bisa mendengar gema, katanya. Bahkan ketika musim panas suhu di dalamnya
akan tetap rendah; orang-orang di masa lalu menyimpan potongan es dari musim
dingin di dalam gua. Dia juga menjelaskan perbedaan antara dua jenis gua: fuketsu,
berukuran lebih besar sehingga orang bisa masuk ke dalamnya, dan kaza-ana,
berukuran lebih kecil dan tidak bisa dimasuki orang. Kedua istilah itu berasal
dari istilah Cina yang mempunyai arti “angin” dan “lubang”. Paman kami seperti
mengetahui semua hal.
Pada gua yang berukuran besar, kami harus membayarnya
untuk bisa memasukinya. Paman kami tidak ikut masuk bersama kami. Dia sudah
terlalu sering datang ke sana, dan lagipula dia terlalu tinggi dan
langit-langit gua sangat rendah yang ada hanya akan membuatnya sakit punggung,
“Ini tidak berbahaya,” katanya, “jadi kalian berdua bisa masuk ke dalam. Aku
akan menunggu di pintu masuk dan membaca buku.” Di pintu masuk seorang petugas
memberikan kami masing-masing sebuah senter dan helm kuning. Di langit-langit gua
terdapat lubang cahaya, namun di dalam gua tetap saja gelap. Semakin dalam kami
memasuki gua, langit-langit gua juga semakin rendah. Tak heran jika paman
jangkung kami memutuskan untuk tinggal.
Adik perempuanku dan aku sendiri menyoroti kaki kami
ketika berjalan. Sekarang sedang pertengahan musim panas—di luar suhu mencapai
sembilan puluh derajat Fahrenheit—tapi di dalam sini tetap dingin, di bawah
lima puluh derajat. Mengikuti nasihat dari paman kami, kami berdua memakai windbreaker
yang kami bawa. Adikku menggenggam erat tanganku, entah karena dia ingin aku
lindungi atau justru dia ingin melindungiku (atau mungkin dia hanya tidak mau
terpisah denganku saja). Sepanjang waktu ketika kami berada di gua yang
berukuran lebih kecil, membuat tanganku hangat. Pengunjung lain di sana
hanyalah sepasang pasangan paruh baya. Tapi mereka segera pergi, dan sekarang
hanya ada kami berdua.
Adikku bernama Komichi, tetapi semua orang di
keluarga kami memanggilnya Komi. Teman-temannya memanggilnya Micchi atau
Micchan. Sejauh yang aku tahu, tak seorang pun yang memanggilnya dengan nama
lengkap, Komichi. Dia bertubuh kecil, seorang gadis mungil. Dia berambut hitam,
dengan potongan yang rapi tepat di atas bahunya. Matanya besar untuk ukuran
wajah yang ia punyai (dengan pupil besar), dan itu menjadikannya seperti
seorang peri. Hari itu dia memakai kaus putih, celana jin berwarna pudar, dan
sepatu merah muda.
Setelah kami berjalan cukup jauh ke dalam gua, adikku
menemukan gua kecil lainnya yang letaknya di luar jalur. Mulut gua tersembunyi
di balik bayang-bayang bebatuan. Dia sangat tertarik dengan penemuannya itu.
“Apakah menurutmu ini seperti lubang kelinci di cerita Alice?” dia bertanya
kepadaku.
Adikku merupakan penggemar cerita “Alice’s Adventures
in Wonderland” karya Lewis Carrolls. Aku tidak tahu sudah berapa kali dia
memintaku membacakan buku itu untuknya. Setidaknya sekitar seratus kali. Dia
sudah bisa membaca dari kecil, tapi dia lebih suka memintaku membacakan cerita
itu dengan suara keras. Dia hapal seluruh ceritanya, tapi tetap saja, dia
selalu terlihat sangat bersemangat setiap aku mulai membaca. Bagian favoritnya
adalah Lobster Quadrille. Dan sekarang pun aku masih bisa mengingatnya, kata
demi kata.
“Tidak ada kelinci,” kataku.
“Aku akan mengintip ke dalam,” katanya.
“Hati-hati,” jawabku.
Lubang itu sangat sempit (lebih mirip kaza-ana,
jika mengikuti istilah pamanku), tapi adikku bisa menyelinap dengan mudah
begitu saja. Hampir seluruh tubuhnya bisa masuk ke dalam lubang itu, hanya
tersisa ujung kakinya saja yang terlihat. Dia mengarahkan cahaya senternya ke
dalam lubang. Dan tak lama perlahan-lahan dia keluar.
“Di sana sangat dalam,” dia bercerita. “Sangat curam.
Persis yang ada di cerita lubang kelinci Alice. Aku akan pergi memeriksanya.”
“Jangan. Itu sangat berbahaya,” kataku.
“Aku akan baik-baik saja. Tubuhku kecil dan aku bisa
kembali keluar. Oke.”
Dia melepaskan windbreaker yang ia kenakan,
jadi dia hanya memakai kaus, dan meninggalkan jaket dan helmnya kepadaku.
Sebelum aku bisa melarangnya lagi, dia sudah menyelinap ke dalam gua, dengan
senter di tangannya. Sekejap kemudian dia sudah menghilang.
Setelah beberapa lama, dia tidak muncul juga. Aku
tidak mendengar apa pun. “Komi,” teriakku ke dalam lubang. “Komi, apa kau
baik-baik saja?”
Tak ada jawaban. Tidak ada gema, suaraku seperti
tertelan begitu saja ke dalam kegelapan. Aku mulai gelisah. Dia mungkin saja
terjebak di dalam sana, tak bisa bergerak maju atau mundur. Atau mungkin saja
dia mengalami kejang dan kehilangan kesadaran di dalam sana. Jika hal itu
terjadi aku tidak bisa menolongnya. Semua pikiran buruk berkecamuk di dalam
kepalaku, dan aku merasa tercekik oleh kegelapan di sekelilingku.
Jika adikku bener-benar hilang di dalam lubang, dan
tidak pernah kembali ke dunia ini, bagaimana aku akan menjelaskan semuanya
kepada orang tuaku? Haruskah aku lari dan memberitahu pamanku, yang menunggu di
luar pintu masuk? Atau duduk saja di sini sambil menunggunya keluar? Aku
berjongkok dan mengintip ke dalam lubang. Tetapi cahaya senterku tidak bisa
mencapainya. Lubangnya sangat kecil, dan di dalam sana benar-benar gelap.
“Komi,” aku mencoba memanggilnya lagi. Tidak ada
jawaban. “Komi,” aku memanggilnya lebih keras. Tetap saja tidak ada jawaban.
Udara dingin menyerangku tepat ke inti. Mungkin aku sudah kehilangan adikku.
Mungkin dia terperangkap di dalam lubang seperti Alice, di dalam dunia Mock
Turtle, Cheshire Cat, dan Queen of Hearts. Sebuah tempat yang sungguh tidak
masuk akal. Kami seharusnya tidak datang ke mari, pikirku.
Tetapi akhirnya adikku kembali. Dia tidak muncul
dengan cara sebelumnya tetapi merangkak dan kepalanya terlihat lebih dulu.
Rambut hitamnya muncul lebih dulu, kemudian diikuti pundak dan tangannya, dan
akhirnya sepatu merah mudanya. Dia berdiri di depanku, tanpa kata,
meregang, santai, bernapas dalam, dan menyapu debu dari jinnya.
Jantungku masih berdebar. Aku mengulurkan tangan dan
merapikan rambutnya yang berantakan. Aku tidak bisa melihatnya jelas dalam
cahaya remang-remang di gua, tetapi aku cukup yakin ada debu, tanah, dan
kotoran-kotoran lainnya yang menempel di kaus putihnya. Aku memakaikan jaket
dan helm kuningnya.
“Aku kira kau tidak akan kembali,” kataku, dan mulai
memeluknya.
“Kau khawatir?”
“Sangat.”
Dia meraih tanganku, dan dengan semangat berkata,
“Aku berhasil memasuki bagian yang sempit, lalu, lebih dalam lagi, tiba-tiba
semakin rendah, dan dari sana seperti ada sebuah ruangan kecil. Ruangan bundar,
seperti bola. Langit-langitnya bundar, dindingnya bundar, dan lantainya juga.
Di sana sangat, sangat sunyi, rasanya kau tidak pernah menemukan tempat sesunyi
itu di dunia ini. Rasanya aku berada di dasar laut, di palung atau mungkin
lebih dalam lagi. Aku mematikan senter dan semuanya menjadi gelap gulita, tapi
aku sama sekali tidak merasa takut atau pun kesepian. Ruangan itu istimewa dan
hanya aku yang bisa masuk ke dalamnya. Hanya untukku. Tak ada orang lain yang
bisa memasukinya. Kau pun tidak bisa.”
“Karena aku terlalu besar.”
Dia menganggukkan kepalanya. “Benar. Kau terlalu
besar. Dan yang lebih luar biasa lagi dari ruangan itu adalah di sana sangat
gelap dari semua tempat yang pernah ada. Sangat gelap dan ketika kau mematikan
cahaya sentermu kau akan merasa seperti bisa meraba kegelapan itu dengan
tanganmu. Rasanya tubuhmu perlahan-lahan melebur dan menghilang. Tetapi karena
gelap jadi kau tidak bisa melihatnya. Kau tidak melihat apakah kau masih
mempunyai tubuh atau tidak. Tapi, katakanlah, jika memang benar tubuhku
menghilang, aku tetap tinggal di sana. Seperti senyum Cheshire Cat yang tetap
ada meski dia telah menghilang. Aneh bukan, hah? Tapi ketika aku berada di sana
aku sama sekali tidak berpikir bahwa itu aneh. Aku rasanya ingin tinggal di
sana selamanya, tapi kupikir kau akan sangat khawatir, lalu aku memutuskan
untuk keluar.”
“Kita harus segera pergi dari sini,” kataku. Dia
terlihat begitu bersemangat hingga seolah-olah dia tidak akan pernah berhenti
berbicara, dan aku harus menghentikannya. “Aku tidak bisa bernapas dengan baik
di sini.”
“Apa kau baik-baik saja?” dia bertanya, gelisah.
“Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin pergi dari
sini.”
Kami berpegangan tangan, dan pergi keluar.
“Apa kau tahu?” adikku berkata dengan pelan ketika
kami mulai berjalan, jadi tidak ada seorang pun yang akan mendengar (meski di
sana tidak ada orang lain). “Alice benar-benar ada. Itu tidak dibuat-buat. Itu
sungguh nyata ada. March Hare, Mad Hatter, Cheshire Car, pasukan Playing Card—mereka
semuanya benar-benar ada.”
“Mungkin saja,” jawabku.
Kami keluar dari Gua Angin, kembali ke dunia luar
yang terang. Di sana terlihat awan tipis di langit sore, tapi aku ingat betapa
mengerikannya cahaya matahari yang tampak. Pekikan jangkrik terdengar jelas,
seperti badai keras yang sanggup menenggelamkan semuanya. Pamanku duduk di
sebuah bangku di dekat pintu masuk, sedang asyik membaca. Saat dia melihat
kami, dia menyeringai dan berdiri.
D
|
ua tahun kemudian, adikku meninggal. Dan dia
dibaringkan di dalam sebuah peti sempit dan dikremasi. Aku berusia lima belas
tahun, dan dia berusia dua belas tahu. Selama dia dikremasi aku pergi ke luar,
menjauh dari keluargaku, duduk di sebuah bangku di halaman krematorium, dan
teringat tentang kejadian di dalam Gua Angin: beratnya waktu yang terasa ketika
aku menunggunya keluar, tebalnya kegelapan yang menyelimutiku, kedinginan
mendalam yang aku rasakan. Rambut hitamnya keluar dari lubang, kemudian
pundaknya. Semua debu dan kotoran yang menempel di kaus putihnya.
Saat itu, sebuah pikiran melintas: mungkin saja,
bahkan sebelum dokter mengabarkan kematiannya dua tahun kemudian, hidupnya
telah direnggut darinya ketika dia tinggal di dalam gua. Aku meyakini hal itu.
Bahwa dia sebenarnya sudah pergi ketika di dalam lubang itu, dan meninggalkan
dunia ini, tetapi aku, aku salah sangka bahwa dia masih hidup, membawanya
bersamaku naik kereta dan kembali ke Tokyo. Menggenggam erat tangannya. Dan
kami hidup sebagai kakak-beradik selama dua tahun lebih. Tapi itu hanyalah
sebuah masa tenggang yang begitu singkat. Dua tahun kemudian, kematian kembali
merayap keluar dari gua untuk merebut jiwa adikku. Seolah-olah waktunya sudah
habis, menagih apa yang sudah dipinjamkan kepada kami, dan sekarang pemiliknya
telah datang untuk mengambil apa yang menjadi miliknya.
Beberapa tahun kemudian, sebagai orang dewasa, aku
menyadari apa yang dikatakan adikku dengan suara yang hampir seperti berbisik
di dalam gua saat itu adalah benar adanya. Bahwa Alice benar-benar ada di dunia
ini. March Hare, Mad Hatter, Cheshire Cat--mereka semuanya benar-benar ada.
(Diterjemahkan dari versi bahasa Inggris, Philip
Gabriel di The New Yorker, oleh Tri Astuti Utomo. Adapun penerjemahan naskah
ini tidak untuk tujuan komersial.)
Komentar
Posting Komentar