[Ulasan Buku] - Surat untuk Ayah, "Sebuah Gugatan Seorang Anak"
Judul: Surat untuk Ayah (Brief an den Vater) | Penulis: Franz Kafka
Penerbit: Kakatua | Penerjemah: Sigit Susanto
Cetakan Kedua, November 2017 | Jumlah Halaman: xii+82
ISBN: 978-602-50848-1-2 | Sastra Klasik
"Sejujurnya kau selalu jadi pokok pembicaraan dalam percakapan kami, karena kau ada di pikiran kami sejak awal, namun bagaimanapun, kami duduk bersama bukan untuk menyusun rencana menentangmu, melainkan untuk membicarakan--semua ketegangan, dengan suka cita, serius, kasih sayang, pembakangan, amarah, keengganan, kepasrahan perasaan bersalah, sekuat pikiran dan perasaan..." (Halaman 36)
SURAT UNTUK AYAH, atau dikenal dengan judul aslinya yakni, Brief an den Vater--merupakan bagian kecil dari biografi mengenai Kafka yang berhubungan langsung dengan sang ayah. Sebuah karya non-fiksi ini berisi tentang penggambaran bagaimana keadaan Kafka yang begitu dan selalu kerdil, rapuh, dan tidak berdaya jika dibandingkan dengan ayahnya. Cerita ini berbentuk asli surat yang pada awalnya diberikan kepada Julie Lowy Kafka (ibu Kafka) untuk diserahkan kepada ayahnya, Hermann Kafka.
Cerita ini berisi pengakuan atau lebih sesuai jika kita sebut sebagai upaya Kafka untuk melakukan pembelaan atas dirinya sendiri kepada sang ayah. Maka, tak heran jika dari halaman pertama hingga halaman terakhir buku ini akan sangat terkesan subjektif, di mana Kafka bertindak sebagai pembela sekaligus penuntut, dan sang ayah tak lebih hanya seorang terdakwa yang tidak mempunyai kesempatan atau ruang untuk menjawab apa-apa saja yang disampaikan oleh Kafka pada sebuah persidangan kecil yang ia bentuk dalam isi surat ini.
"Suatu malam, aku terus merengek meminta air minum, tentu bukan karena haus, melainkan hanya ingin membuat jengkel, sebagian untuk menghibur diriku sendiri. Setelah sejumlah ancaman bertubi-tubi yang selalu gagal, kau mengangkatku dari ranjang, menggendongku menuju pavlatsche dan meninggalkanku sendirian untuk beberapa saat di depan pintu yang terkunci, sementara aku hanya mengenakan baju tidur." (Halaman 8)
Kutipan di atas adalah bagian terkecil dari apa yang pernah dialami oleh Kafka. Ketika ia berusia sangat muda, ia sudah mendapatkan perlakuan yang dinilainya kurang menyenangkan dari sang ayah, meskipun Kafka sadar bahwa ayahnya tak terlalu salah dengan apa yang dilakukannya, tetapi pada saat bersamaan ia juga menuntut ayahnya karena telah memberikan luka masa kecil yang sampai pada ia dewasa masih membekas, dan apa yang telah dilakukan ayahnya merupakan cikal bakal ketakutan Kafka pada sosok ayahnya.
Tidak benar jika dikatakan bahwa Kafka tidak mencintai atau mengasihi ayahnya, tidak, Kafka mencintai ayahnya sebagai seorang anak pada umumnya. Namun, bagaimana cara ayahnya memperlakukannya selama ini membuatnya tak bisa lepas dari bayang-bayang keagungan sang ayah. Ayah Kafka adalah seorang yang berkepala dingin, mempunyai hasrat hidup yang tinggi, fasih berbicara, mempunyai kepuasan diri yang besar, mempunyai pemahaman yang sangat baik tentang kemanusiaan, kemurahan hati, yang jika meminjam istilah dari Kafka--Hermann Kafka yang tak lain adalah ayahnya merupakan seorang Kafka sejati--dan hal ini sangat berlawanan dengan sifat Kafka yang penuh dengan kecemasan, lemah, penakut, dan peragu.
Rasa tidak menyenangkan yang dirasakan oleh Kafka pada ayahnya dirasakan ketika ia menganggap hidup yang selama ini ia punya adalah tak lain sebagai hadiah belas kasihan sang ayah semata. Ia mengumpamakan seperti orang yang hendak dihukum gantung, yang pada saat terakhir diberikan kebebasan, dari hal ini ia menjabarkan bahwa kesempatan hidup yang diperoleh adalah sebuah pemberian, namun meninggalkan kengerian hidup yang lebih menakutkan daripada sebuah kematian itu sendiri.
*
Selama membaca buku ini, tak jarang saya dibuat berhenti sejenak untuk mencerna baik-baik apa yang ingin disampaikan oleh Kafka. Selain karena bahasa terjemahan yang digunakan (meskipun saya sangat yakin bahwa penerjemah telah melakukan sebaik yang beliau bisa), gaya menulis Kafka pada buku ini membuat pembaca mesti berhati-hati dan lebih cermat untuk mencerna apa-apa yang ingin ia sampaikan. Sigit Susanto selaku penerjemah buku pada pengantarnya mengiakan bahwa corak berbahasa Kafka pada buku ini sangat aneh dan rumit, kerumitan ini ditunjukan dengan bagaimana Kafka dalam sepanjang isi surat menggunakan kalimat yang sangat kompleks dengan sintaksis yang bertumpuk.
Surat untuk Ayah adalah buku kedua yang saya baca dari karya Franz Kafka, jauh sebelum ini saya telah membaca Metamorfosa Samsa, yang saya akui dari kedua buku ini memang membutuhkan tingkat konsentrasi yang cukup tinggi untuk dapat menangkap apa yang menjadi poin utama karya Kafka. Antara Surat untuk Ayah dan Metamorfosa Samsa terdapat kemiripan--bahkan pada pengantar Metamorfosa Samsa secara gamblang disampaikan bahwa untuk dapat mengerti dengan baik hubungan antara Samsa dan sang ayah, pembaca disarankan untuk membaca buku Surat untuk Ayah--dan benar saja, kemiripan akan kita jumpai pada penokohannya, di mana juga Gustav Janouch dalam bukunya Percakapan dengan Kafka membandingkan nama KAFKA dengan SAMSA, dan begitu juga penggambaran tokoh-tokoh lainnya.
Dalam surat yang ditulis Kafka kepada ayahnya ini saya yakin juga terjadi pada sebagian anak-anak yang ada di dunia, di mana mereka mesti menjalani hidup sesuai dengan standar yang diberikan oleh orang tua mereka. Meskipun para orang tua secara yakin apa yang mereka lakukan untuk kebaikan sang anak agar dapat menjalani hidup yang lebih baik, kadang mereka kurang mempunyai rasa sadar bahwa anak juga merupakan manusia yang pada dasarnya mempunyai kontrol penuh atas kehidupan mereka, apa yang menjadi pilihan dan jalan yang mereka pilih seharusnya terlahir dari pemahaman mereka mengenai hidup, bukan dari pemahaman orang tua yang kecewa akan kehidupan yang pernah mereka jalani.
Membaca buku ini membuat saya pribadi untuk berkontemplasi mengenai bagaimana saya memosisikan orang tua saya dalam kehidupan saya. Dan tentu saja, juga merupakan bahan refleksi untuk saya kelak memperlakukan mereka yang nantinya digariskan menjadi anak-anak saya. Sebaik apapun anggapan kita mengenai kehidupan orang lain, adalah sebuah kedangkalan jika kita tidak memberikan ruang yang cukup untuk mereka memutuskan jalan mereka sendiri.
"Banyak orang berpikir bahwa ketakutan untuk menikah kadang berasal dari ketakutan bahwa suatu hari anak-anakmu akan membalas dendam terkait dosa-dosa yang kauperbuat pada orang tuamu sendiri." (Halaman 63)
Komentar
Posting Komentar