[Kupas Tuntas] - KAPPA, "Miniatur Kehidupan Manusia dengan Sistem Lebih Praktis", Bagian I
Judul:
KAPPA | Penerbit: KPG
Penulis:
Ryunosuke Akutagawa | Penerjemah: Winarta
Adisubrata
Penataletak:
Deborah Amadis Mawa | Jumlah Hlm.:
iv+83
Cetakan
Pertama, Juni 2016 | ISBN:
978-602-424-095-0
Rating Buku:
5/5 | Sastra Dunia
“Apa yang paling
ingin kita banggakan ialah yang tidak ada pada kita.” (Halaman 48)
KAPPA—sebuah
novelet yang ditulis Akutagawa pada tahun 1927. Merupakan salah satu buku-buku pertama dari sastra Jepang yang saya baca, jadi merupakan pengalaman yang
menyenangkan ketika kita memutuskan untuk memulai suatu bacaan baru dan
mendapatkan buku yang ketika kata “bagus” saja tak cukup untuk
menggambarkannya.
Saya membaca novelet ini pertama kali pada tanggal 9 Desember 2016, dan ketika saya menuliskan ulasan
ini, seingat saya, saya sudah membaca ulang sebanyak 7 sampai 8 kali. Dan bisa
dibilang ini merupakan sebuah rekor yang luar bisa untuk saya sendiri, karena
saya adalah orang yang terbilang pilih-pilih untuk bisa membaca ulang sebuah
buku, tetapi beda dengan KAPPA—sebenarnya saya membaca ulang novel ini adalah
ketika saya akan melakukan review, tetapi
ketika saya memulainya, selalu merasa kurang, selalu saja merasa bahwa saya
kurang cukup memahami apa yang ingin disampaikan oleh Akutagawa dalam bukunya
ini.
Novelet dengan 83
halaman ini terdiri dari 17 bagian dengan ditambahkan 2 bagian pengantar,
pengantar pertama dari Wakan Sansai Zue, dan pengantar kedua merupakan suatu
informasi yang memperkenalkan pembaca dengan si narator yang nantinya akan
menceritakan pengalamannya sebanyak 17 bagian ke depan selama dia hidup di
dunia kappa.
Dan pada akhirnya
saya membuat sebuah catatan kecil untuk masing-masing bagiannya, jadi merupakan
sebuah informasi penting kepada pembaca bahwa ulasan saya kali ini akan berisi spoiler—meskipun menurut saya spoiler yang saya berikan tak akan
memberikan pengaruh yang signifikan, karena ketika pembaca memutuskan untuk
membaca novelet ini sendiri, maka akan merasakan sebuah kebaruan pada tiap gagasan
yang disampaikan Akutagawa pada tiap katanya. Bagaimana tidak? Karena yang
disampaikan Akutagawa dalam noveletnya mencakup seluruh aspek kehidupan zaman
pada masanya, sebuah kritik yang komplek sekaligus sangat cemerlang, tidak
dilebih-lebihkan, hanya dikemas dalam 83 halaman tetapi sudah bisa mewakili segala
kegelisahannya terhadap keadaan masyarakat Jepang. Isu politik, kesenian,
sosial, hukum, ekonomi, kemanusiaan, sampai pada isu pernikahan pun tak lepas
dari cakupan buku tipis ini.
SEBUAH
CATATAN KECIL DAN ANALISA SINGKAT
Seperti yang telah
saya sampaikan di atas, bahwa novelet ini terdiri dari 17 bagian dan 2 bagian
pengantar. Di bawah ini akan saya sampaikan apa-apa saja yang disampaikan pada
tiap bagiannya, dan selamat berdamai dengan spoiler…
KAPPA
(halaman 1-2)—sebuah pengantar yang menjelaskan
karakteristik Kappa yang diambil dari Wakan Sansai Zue. Dalam pengantar ini
dijelaskan bahwa kappa adalah makhluk yang mirip dengan anak manusia yang
berusia 10 tahun. Dan, dalam kesehariannya mereka memilih untuk tidak
mengenakan pakaian dan mereka mempunyai sebuah kantong yang berfungsi untuk
menyimpan benda-benda mereka, mirip seperti kantung pada hewan kanguru atau
mirip dengan kantorng Doraemon yang bisa menyimpan segala kebutuhan Nobita.
Kappa merupakan makhluk yang bisa hidup di dua alam, dan mereka juga berlendir.
Mereka mempunyai
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh manusia manapun, di atas kepala mereka,
terdapat lekukan cekung yang berisi air, dan jika air yang ada di kepala mereka
tidak tumpah maka mereka mempunyai kekuatan yang sama besarnya dengan laki-laki
yang paling perkasa, dan hal ini tentu saja sangat tidak sesuai jika dibanding dengan
fisik mereka yang hanya seperti anak berusia 10 tahun. Selain itu, Kappa juga
bisa menyembunyikan tangan mereka ke dalam dada mereka dan bisa menjulurkan
tangannya hingga dua kali lebih panjang.
PENGANTAR
(halaman 3-4)—sebuah pengantar lainnya yang
memperkenalkan pembaca dengan sang narator yang merupakan pasien no.23 di
rumah sakit jiwa S. Dia berusia sekitar 30 tahun, meski wajahnya nampak jauh
lebih muda dari umurnya. Si pasien no.23 senantiasa menceritakan kembali
ceritanya di dunia kappa jika diminta, dia akan mempersilakan si pendengar
untuk duduk dan dengan senyum di wajahnya dia akan memulai menceritakan kisah hidupnya
di negeri kappa.
BAGIAN
I (halaman 5-8)—menceritakan bagaimana pertemuan pertama
antara si narator dengan kappa nelayan—bernama Bag—di sebuah Lembah Azusagawa ketika
dia pada tiga tahun yang lalu meninggalkan penginapan di peristirahatan air
panas di Kamikochi untuk mendaki Gunung Hodaka. Diceritakan bahwa pada pagi
ketika dia memulai pendakian, cuacanya sangat berkabut, dan semakin lama dia
melakukan perjalanan, kabut yang turun semakin menebal. Ketika merasa kepayahan,
dia memutuskan untuk beristirahat untuk makan. Dan pada saat itulah, dia
melihat wajah seram yang terpantul dari kaca arlojinya, sontak dia berdiri dan
mulai mencari bahkan berniat untuk menangkap si kappa. Tetapi, karena kappa
bergerak sangat cepat, maka suatu ketidakmungkinan baginya untuk dapat menagkap
si kappa yang beberapa saat lalu terlihat di kaca arlojinya. Alih-alih bisa
menangkap si kappa, dia terperosok kedalam sebuah lubang yang tidak ia ketahui
dari mana datangnya.
BAGIAN
II (halaman 9-12)—si narator tersadar di negeri kappa. Dia
ditandu untuk dipindahkan ke sebuah tempat atau tepatnya rumah untuk
selanjutnya dapat dirawat dengan baik oleh kappa yang memakai kacamata jepit di
atas paruh tebalnya—yang nantinya akan ia kenal sebagai dr. Chack—seorang dokter
di negeri kappa. Selama perjalanan dia melihat bahwa negeri kappa tak jauh
berbeda dengan tempatnya berasal. Di sana terdapat toko-toko, jalanan besar
seperti di Ginza, bahkan ada banyak mobil yang hilir mudik dan tak terhitung
jumlahnya.
Setelah si narator
melawati pekan-pekan pertamanya di negeri kappa, di sini mulai terlihat
bagaimana keadaan dunia kappa terbentuk, yang memang tidak ubahnya seperti
kebudayaan manusia. Sebagai contoh, di salah satu pojok kamar tamu yang
menghadap ke jalan, ada sebuah piano dan pada dinding-dindingnya terdapat
lukisan berbingkai yang menghiasi--layaknya ruang-ruang tamu di Jepang.
BAGIAN III
(halaman 13-14)—si narator menjelaskan bagaimana bentuk kappa sesuai dengan
pengalamannya hidup bersama dengan mereka untuk beberapa saat. Ia meyakinkan
bahwa kappa memang benar-benar ada, jika saja kita masih meragukan keberadaan kappa, karena menurutnya dia sudah hidup dan menghabiskan waktu bersama mereka,
jadilah pasti bahwa kappa adalah sesuatu yang nyata.
Narator
menjelaskan bahwa kappa memiliki tingga rata-rata satu meter lebih sedikit,
memiliki berat badan antara 10 samapi 15 kg, meskipun kadang juga dijumpai kappa besar yang memiliki berat lebih dari 25 kg. Persis pada pengantar pada
awal novelet ini, dijelaskan bahwa kappa tidak memakai baju bahkan cawat
sekalipun, dan karena merasa heran, pada akhirnya si narator menanyakan hal ini kepada
Bag si Kappa Nelayan, mengapa mereka tidak mengenakan apa-apa. Bag tertawa
mendengar pertanyaan itu sembari bertanya, “Aku juga ingin tahu apa sebab
tubuhmu kau tutupi.”
Hal ini
menunjukkan bahwa apa yang lazim dalam satu kehidupan, belum tentu hal itu juga
lazim di kehidupan lainnya.
BAGIAN IV (halaman
15-18)—si narator menemukan sebuah teka-teki dalam keseharian kappa. Hal ini
mengenai apa yang dianggap serius dan merupakan sebuah lelucon, hal ini terjadi
ketika ia menanyakan sebuah hal yang dikiranya sangat serius dan tak lepas dari
sisi ‘kekappaan’, yakni mengenai pembatasan kelahiran, hal ini ia tanyakan
kepada dr. Chack, dan respon dr. Chack malah tertawa dan menganggap
pertanyaannya sangat lucu.
Dalam bagian ini,
Akutagawa berusaha untuk memberikan kritik mengenai pembatasan kelahiran yang
dilakukan manusia yang mungkin menurutnya kurang begitu efektif. Jika di dunia
manusia pembatasan kelahiran dilakukan dengan program keluarga berencana, atau dengan menggunakan alat kontrasepsi agar tidak terjadi kehamilan, atau bisa jadi lebih sadis jika si perempuan
sudah terlanjur hamil dan tidak berkeinginan untuk melahirkan maka pembatasan
kelahiran bisa dilakukan dengan menggugurkan janin yang ada di kandungan si
perempuan. Nah, di dunia kappa, pembatasan kelahiran dilakukan dengan cara
yang oleh kita bisa dibilang sangat nyeleneh, bagaimana tidak? Pembatasan kelahiran
bayi kappa bisa dilakukan dengan hanya menanyakan kepada si bayi, apakah si
bayi mau dilahirkan atau tidak, jika si bayi tidak ingin dilahirkan maka perut
si ibu yang tadinya buncit secara otomotis akan menyusut seperti balon dan
tanda-tanda kehamilan tidak terlihat sama sekali.
Menurut saya,
satire mengenai posisi si bayi bisa memilih untuk dilahirkan ke dunia atau
tidak, tak lain adalah sebuah interpretasi keadaan Akutagawa secara pribadi,
seperti yang kita ketahui bahwa ibu Akutagawa mengalami gangguan jiwa tak lama
ketika ia melahirkan Akutagawa, dan dari keadaan si ibu, dia selalu dihantui
oleh ketakutan bahwa nantinya dia akan mewarisi gangguan jiwa yang diderita
oleh ibunya. Keadaan Akutagawa tentu saja tak bisa diubah meski ia telah
diadopsi oleh pamannya, ketakutan akan gangguan yang sama dengan ibunya terus
menjadi momok yang makin menakutkan baginya. Akutagawa lahir dari seorang yang
mempunyai gangguan jiwa, dan dia tidak bisa memilih untuk dilahirkan atau tidak
harus dilahirkan. Ketakutan ini dituangkan pada jawaban anak Bag ketika akan
dilahirkan pada halaman 16, “Aku tidak ingin dilahirkan. Pertama, karena aku tidak ingin
mewarisi darahmu. Kegilaanmu sudah cukup mengerikan untuk dipikirikan. Kedua,
karena aku yakin, bahwa dunia kappa terlalu mengerikan.” Jadi, alangkah
beruntungnya anak-anak kappa yang mempunyai otoritas penuh untuk dapat memilih dan menentukan hidupnya sedari awal
mereka akan memulai kehidupan mereka.
Kritik lainnya
yang disampaikan pada bagian keempat ini adalah mengenai tradisi pernikahan
Jepang, seperti yang kita ketahui bahwa di Jepang sangat memperhatikan status
sosial dalam pernikahan. Pada masa itu, meskipun Jepang sudah terbilang menjadi
masyarakat modern, masih saja ada beberapa kasta yang dalam status sosialnya
dipandang rendah dan tidak diperhitungkan keberadaannya di dalam masyarakat.
Sebut saja kaum Eta yang secara sosial mendapatkan diskriminasi dari kaum kasta
lainnya. Bagi kaum Eta, adalah suatu hal yang hampir tidak mungkin untuk dapat
mendapatkan perlakuan yang sama dalam mendapatkan pekerjaan ataupun dalam hal
pernikahan. Dalam dunia manusia, kita akan cenderung menuruti hukum sosial
masyarakat, jika mayoritas masyarakat di lingkungan sosial kita mengatakan bahwa
kaum A hanya dapat menikah dengan kaum A, maka hal itu yang akan dilakukan,
meski tak jarang hal tersebut berlawanan dengan keinginan kita. Berbeda dengan
di dunia kappa, di dunia kappa sengaja dibuka pendaftaran korps sukarelawan
untuk melenyapkan kejahatan-kejahatan keturunan.
Si narator
mengatakan bahwa pembentukan korps tersebut bukanlah suatu yang praktis, namun
lewat Lap—seorang kappa mahasiwa yang juga merupakan salah satu teman dekat
narator di dunia kappa—Akutagawa menyampaikan, “Tidak praktis? Tetapi dari apa yang telah kau katakana kepadaku,
bukankah itu juga dilaksanakan di negerimu, seperti juga di sini? Beberapa di
antara anak laki-laki dari keluargamu jatuh cinta dengan babu-babu mereka,
sejumlah anak perempuan kawin dengan supir mereka. Apa coba itu artinya?
Bukankah itu juga berarti mereka melenyakpan kejahatan-kejahatan akibat
keturunan? Cuma mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Lebih-lebih menurut
pendapatku sukarelawan-sukarelawan kami lebih mulia daripada
sukarelawan-sukarelawan manusia yang kau katakana beberapa hari yang lalu
saling bunuh hanya karena urusan jalan kereta api.” Terlihat jelas, bahwa
peradaban kappa yang diciptakan oleh kappa di sini dinilai lebih tinggi
daripada peradaban manusia.
BAGIAN
V (halaman 19-22)—di bagian ini pembaca diajak untuk
berkenalan dengan salah satu teman narator di dunia kappa, yakni Tock, seorang
penyair kappa, berambut gondrong persis seperti penyair-penyair di negeri
manusia. Tock adalah seorang kappa yang lebih senang dengan kehidupan yang
bebas, ia tidak beristri, namun mempunyai kekasih yang senantiasa tinggal di
rumahnya. Di sini Tock mencoba untuk mengkritisi seni, pada halaman 20 ia
mengatakan, “Seni tidak boleh diganggu
oleh aturan-aturan kehidupan mana pun. Seni hanyalah untuk seni…”
Saya bukanlah
orang yang khatam mengenai dunia seni, akan tetapi marilah kita mengambil satu
contoh dari aspek lainnya selain seni, misalkan agama. Masih hangat di telinga
kita, bahwa akhir-akhir ini seringkali beberapa pihak mencampuradukan masalah
agama dengan politik. Antara agama dan politik adalah dua hal yang berbeda,
jadi jika dicampuradukan akan menimbulkan ketegangan yang dampaknya sangat
fatal. Mungkin dampak yang sama juga akan terjadi jika seni dicampuri dengan
urusan lainnya.
Atau baiklah,
bagaimana jika kita menilik mengenai program televisi yang menghiasi dunia
hiburan Indonesia. Jika kita rajin atau menyempatkan waktu kita untuk
memperhatikan program-program televisi di semua channel, maka tak jarang kita melihat program yang kontennya tidak
masuk akal—kita ambil contoh tayangan film televisi atau sinetron, jika kita
masih ingat dengan sinetron-sinetron yang tayang pada tahun 90-an, kita akan menemukan
perbedaan yang sangat siginifikan antara kualitas sinetron tahun 90 akhir
hingga 2000-an awal. Dulu sinetron hanya ditayangkan satu minggu sekali, jadi
pihak production house pun mempunyai
waktu yang cukup untuk dapat memproduksi program yang sarat dengan kualitas.
Berbeda dengan sinetron masa kini yang mementingkan kuantitas alih-alih
kualitas, berapa kali kita melihat jumlah episode sinteron masa kini yang
terdiri dari 3 digit angka?
Pembelaan dari
stasiun TV yang memilih program-program seperti itu adalah karena untuk
memenuhi selera penonton—pertanyaan saya adalah, selera penonton mana yang
dipenuhi? Dan ya pasti juga untuk mengejar angka rating, semakin tinggi rating
semakin tinggi uang masuk—kualitas? Oke, nomer sekiankan. Begitulah jika seni
dikomersialkan, ketika seni dikatakan memenuhi selera penonton, ya bagaimana
selera tidak begitu-begitu saja kalau yang ditawarkan tidak ada perbaikan
kualitas?
BAGIAN
VI (halaman 23-26)—menceritakan realita lainnya di kehidupan
kappa mengenai percintaan kappa yang bisa dibilang sangat berbeda dengan
percintaan manusia. Dalam kehidupan manusia, laki-laki yang cederung mengejar
perempuan, lain lagi dengan kappa, di sana si betinalah yang mengejar si
jantan. Memang dalam beberapa kasus kappa jantan akan mengejar kappa betina,
tetapi hal ini juga tidak lain karena si betina terlebih dahulu merangsang si
jantan.
Baiklah, jika
ditilik lebih dalam mungkin hal ini juga sama dengan kehidupan manusia, banyak
wanita yang mengenakan baju yang bisa dibilang minim yang memang bertujuan
untuk menarik perhatian. Tetapi, selama membaca buku ini saya tidak menemukan
dua kappa betina merebutkan satu pejantan, berbeda dengan manusia yang mungkin
beberapa kali kita menemukan dua wanita memperebutkan satu laki-laki dan tanpa
malu melakukan perkelahian di depan umum.
BAGIAN
VII (halaman 27-30)—narator bersama dengan teman-teman
kappanya datang pada sebuah acara pertunjukan orkestra yang di dalamnya
menampilkan Craback—kappa komponis yang masyhur dan juga merupakan teman
narator. Di sana narator melihat bahwa sama dengan dunia manusia, musik-musik
yang dibawakan pada pertunjukan itu sudah dipengaruhi oleh budaya Eropa.
Pada pertengahan
pertunjukan, ada seorang kappa polisi yang tiba-tiba menghentikan acara
pertunjukan, dan dalam hitungan detik pertunjukan musik yang tadinya berjalan
takzim menjadi porak-poranda. Kerusuhan terjadi, kappa-kappa itu saling lempar
dan mengeluarkan kata-kata makian kepada yang lainnya. Melihat kejadian itu, si
narator bertanya kepada Mag, si kappa filsuf, mengenai apa yang sedang terjadi.
Dengan enteng, Mag menerangkan bahwa hal seperti sudah sering terjadi pada
acara pameran lukisan, dan acara-acara yang merupakan bagian dari sastra.
“Ümumnya
kita bisa melihat dengan cukup jelas apa yang dinyatakan dalam sebuah lukisan
atau karya sastra. Hingga penjualannya tidak pernah dilarang di sini. Tetapi
pergelaran-pergelaran musik sering dilarang. Karena betapapun merugikannya bagi
moral umum, pergelaran-pergelaran itu tidak begitu dihargai oleh kappa-kappa
yang tidak mempunyai telinga.” (Halaman 29)
Jika kita ingin
mengingat, hal-hal semacam ini juga kerap terjadi di dunia manusia. Di sini
Akutagawa ingin menyampaikan apa yang terjadi di Jepang dan mungkin di negara
lainnya yang mana sering terjadi kasus pencekalan terhadap musisi, karena karya
mereka dianggap mendurhakai budaya sendiri dan lebih parah lagi, para pekerja
seni itu dianggap berbahaya bagi pemerintahan yang tengah menjabat.
Sebagai contoh di
Indonesia, pencekalan pernah terjadi pada group band Elpamas—group band
beraliran rock yang banyak lagunya
mengandung kritik sosial yang ditujukan pada masa pemerintahan waktu itu. Salah
satu lagu mereka yang berjudul Pak Tua—menceritakan seorang pengusaha yang
telah berusia lanjut tetapi tidak mau pensiun—dianggap menyindir pemimpin
negara yang tengah menjabat pada masa Orde Baru, oleh karena itu, baik lagu dan
video klipnya dilarang peredarannya di Indonesia.
Selain Elpamas,
ada yang sampai sekarang masih dan akan selalu segar di ingatan para pencinta
sastra, yakni Widji Thukul. Widji Thukul, nama yang telah diabadikan dalam
bentuk buku dan film ini, bahkan sampai sekarang nasibnya belum menemui titik
terang. Ia adalah penyair yang dikenal vokal dan karya-karyanya berisikan
kritik sosial—karyanya dianggap sebagai propaganda, oleh karena itu,
keberadaannya merupakan ancaman tersendiri bagi pemerintahan.
Jika kita mempunyai
cukup waktu untuk merunut kejadian-kejadian serupa, maka akan menghasilkan
daftar yang panjang berisikan nama-nama seniman yang keberadaannya dianggap
merugikan oleh penguasa yang tengah berkepentingan di masanya.
Bersambung di bagian 2...
Kumenanti bagian dua ~
BalasHapusWkwkwkwkwkwkwk....
HapusNantikaaannnnn.....