Bermedia Sosial Ala Saya
Sumber Gambar: Katarina |
Tulisan ini merupakan bagian dari kolaborasi menulis
yang saya adakan dengan kedua teman berpikir random saya, yakni Nyai Ipeh dan Raden Juliardi. Sebelumnya kami
juga sudah pernah melakukan kolaborasi yang sama, dan bisa dilihat di link ini. Baiklah, seperti biasa berawal
dari obrolan random dan akhirnya
membuahkan sebuah kesepakatan “Oke, kita bikin tulisan tandem”, dan kali ini
kami ingin mengangkat tema “Apa saja
yang bisa dan tidak bisa kami share
ke media sosial versi masing-masing”.
Berbicara mengenai media sosial, mungkin sebagian
besar dari orang yang kita kenal mempunyai akun minimal satu akun di salah satu
jenis media sosial yang ada. Bahkan, beberapa teman yang saat ini bisa
terbilang dekat dengan saya berasal dari jaringan media sosial. Itu mungkin
salah satu hal positif yang bisa didapatkan, yakni kita bisa mempunyai teman
lebih banyak dalam waktu yang juga bisa terbilang cepat dan irit biaya karena
jika ingin melakukan komunikasi toh bisa dilakukan secara online.
Masing-masing dari kita pasti mempunyai rules tersendiri dalam bermedia sosial,
seperti misalnya Nyai Ipeh dalam tulisannya menjelaskan tidak akan membagikan
nama aslinya di media sosial begitu saja, atau beberapa orang lainnya yang
tidak akan membagikan swafoto (foto
selfie) mereka di akun media sosial, dan tentu saja ada banyak rules yang kita terapkan untuk diri kita
dalam bermedia sosial yang tujuannya untuk menjaga privasi dan tentu saja untuk
memberikan batasan antara diri kita dan media sosial. Dan berbicara mengenai
privasi ataupun batasan, keduanya bersifat relatif bagi masing-masing individu—jadi
ada individu yang selalu share foto
ataupun video kegiatan mereka secara live
di akun media sosial mereka, di lain sisi ada individu yang sekadar share location mereka saat itu juga
adalah sebuah pantangan yang tidak boleh dilanggar—dari keduanya tidak ada yang
salah dan benar, toh kembali lagi bahwa privasi diri kita adalah relatif
adanya, maka dari itu hindari untuk menjustifikasi orang-orang yang selalu live di akun media sosial ini sebagai
individu yang tidak mempunyai privasi ya.
Media Sosial,
Dua Sisi Mata Pisau
Dengan berbagai manfaat yang diberikan, hal ini tak membungkam kenyataan bahwa media sosial ini mempunyai celah yang pada akhirnya bisa menjadi bumerang bagi si empunya sendiri, maka dari itu dalam penggunaannya harus lebih bijaksana lagi agar terhindar dari hal-hal yang tentu saja tidak diinginkan dan merugikan.
Menurut saya—dan saya yakin sudah banyak pihak pula
yang mengatakan bahwa media sosial bagaikan dua sisi mata pisau—efek yang
diberikan bisa sekaligus menjadi efek positif dan negatif secara bersamaan, maka
dari itu hal-hal yang bisa dibagikan di media sosialpun bisa menjadi hal-hal
yang tidak bisa dibagikan juga, berikut lengkapnya…
Profil—hal
yang paling mendasar dalam bermedia sosial adalah dengan kita mengisi profil
kita di akun tersebut. Melalui profil, orang lain bisa mengetahui siapa kita
dari nama, tanggal lahir, domisili, tingkat pendidikan terakhir, ataupun bisa
juga sampai nomor sepatu kalau memang si empunya ingin menyertakan keterangan
tersebut di halaman profilnya. Nah, di sini untuk saya pribadi akan mengisi
profil sebatas informasi umum yang memang tidak akan membawa kerugian nantinya.
Informasi umum di sini meliputi nama saya, tanggal lahir, domisili (tetapi
bukan alamat tempat tinggal, saya biasanya memberikan informasi alamat kantor),
almamater, informasi mengenai hal-hal yang menarik buat saya (seperti buku,
film, gincu, psikologi, makanan, atau lainnya), dan tentu saja adalah link blog saya (lumayan kan buat promo).
Dan, informasi yang tidak akan saya bagikan yakni nomor identitas (oke,
sepertinya semua orang juga tidak akan memberikan nomor identitas di laman
profil), nomor sepatu, atau informasi lainnya yang sebenarnya tidak ada
faedahnya untuk orang lain dan malah cenderung annoying bagi orang lain.
Post—nah, komponen penting lainnya
dari media sosial adalan konten post itu
sendiri. Fitur ini mempermudah kita untuk berbagi opini atas apa yang tengah hype seperti isu sosial, agama, atau
sekadar opini mengenai keadaan kota hari ini. Dalam menuliskan opini baik itu
yang kita tujukan hanya untuk candaan, ataupun memang pure hanya ingin berbagi pengalaman kepada orang lain, kita juga
harus bijak, kenapa? Karena bukan hanya sekali dua kali saja curhatan di media
sosial berujung dengan tuntutan hukum karena dianggap melanggar UU ITE—jadi,
sebelum kita beropini atau sekadar curhat, kita mesti hati-hati dalam pemilihan
katanya ya, supaya tidak dianggap merugikan orang lain.
Selain itu, di
sini kita juga bisa membagikan ulang konten yang telah dibagikan oleh orang
lain terlebih dahulu, seperti berita mengenai kenaikan harga daging, berita
perceraian artis, berita mengenai salah satu jenis obat yang bisa digunakan
untuk membius dan akhirnya menghilangkan kesadaran bagi orang yang meminumnya
(padahal jenis obat yang dimaksud adalah produk hoax), atapun share info
mengenai lowongan pekerjaan. Perlu diingat, bahwa kita hidup di zaman yang
segalanya bisa diakses secara cepat, saking cepatnya maka si orang-orang ini tidak
bisa membedakan mana yang fakta dan mana yang berita kaleng—jadi, sebisa
mungkin jadikan diri kamu sebagai orang yang lebih teliti dan berpikir panjang sebelum
share berita di media sosial.
Kalau saya
sendiri, saya akan cenderung memilah-milah jenis media sosialnya terlebih
dahulu sebelum saya posting, hehehe—contoh,
untuk posting sesuatu yang sifatnya
agak pribadi seperti curhat mengenai masalah kantor, kuliah, ataupun hal random nan receh, saya akan memilih
twitter (ini tidak lain karena di twitter saya tidak berteman dengan bos saya),
kemudian untuk posting sesuatu yang
berhubungan dengan buku dan hobi lainnya saya akan memilih media Instagram—jadi,
kalau saya sebenarnya melihat dulu apa yang ingin saya bagikan baru deh saya
menentukan di platform mana saya akan
membagikannya, dan tentu saja hal-hal yang bersifat nyinyir atau yang kelak
menimbulkan kesalahpahaman orang lain akan sangat saya hindari. Simple saja, saya tidak suka jika
membaca postingan nyinyir nan memicu
kebencian, jadi ya saya tidak akan melakukan hal tersebut.
Foto—hal lainnya yang erat kaitannya di dunia
media sosial adalah upload foto. Nah,
ada beberapa orang yang gemar sekali share
swafoto, jujur, saya pun dulu juga begitu, tapi setelah saya pikir-pikir lebih
baik saya mengeksklusifkan wajah saya yang pas-pasan ini untuk diri saya
sendiri dan teman-teman saya daripada mesti harus sering saya bagikan ke media
sosial. Lagipula, masih banyak objek lainnya yang lebih indah yang bisa kita
bagikan untuk orang lain dan tentu saja lebih bermanfaat bukan? Contohnya,
kalau di Instagram ada bookstagram,
nah, mereka-mereka ini adalah orang-orang kreatif nan niat yang berbagi foto
buku plus review dari buku tersebut—jadi,
lebih bermanfaat bukan?
Oke, sebenarnya tidak terlalu banyak rules saya dalam bermedia sosial,
prinsipnya sih yang penting tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu orang
lain saja. Jika kedua hal tersebut sudah bisa dipenuhi, maka yang tersisa
adalah hal bermanfaat nan membuat orang lain bahagia juga.
Saya kira impresi saya mengenai bermedia sosial akan
saya cukupkan sampai di sini dulu. Dan, terima kasih sudah membaca. Semoga kita
termasuk golongan orang yang bijak dalam bermedia sosial.
Selamat Bermedia Sosial dengan Bijak!
Iyes, sosmed emang kaya monster kepala dua di Monster Inc, yak. Sama-sama tampak Good dan Badnya. Salah langkah sedikit aja, bisa salah paham se-netizen land. Kemudia di skrinsut masuk infotwitwor wkwkwkwkwk
BalasHapusKemudian viral dan terkenal, kemudian diangkat sebagai duta. Wkwkwkwkwkwkwk
HapusSetuju sekali dengan tulisan ini! Walaupun sekarang udah batasan privasi sama publik di media sosial itu seperti sebuah garis tipis, tapi sesungguhnya harus ada batas yg jelas mana yang boleh di share mana yg sebenernya gak berfaeda untuk dishare juga wkwkw. Btw iniqa yg dinamakam esai?
BalasHapusDuh, makasih atas kunjungannya loh, Mips.
HapusIni lebih ke opini sih ya sepertinya. Soale nggak dianalisis dari disiplin ilmu mana aje, hahahahahah
Tapi ya entah, karena kujuga masih belajar.