[Resensi Film] - LION (2016), Jalebi Mengingatkanku Pulang
Sumber Gambar: Google Image |
LION—atau
dalam bahasa India berarti Sheru
adalah sebuah film biopik yang dirilis pada tahun 2016, namun film ini baru
bisa dinikmati oleh penikmat film tanah air pada awal tahun 2017. Berangkat dari
sebuah novel berjudul A Long Way Home,
LION berkisah tentang perjalanan Saroo Brierley untuk menemukan
keluarganya di India dengan menggunakan bantuan Google Earth.
LION,
dibuka dengan scene yang
memperlihatkan sosok Saroo kecil (Sunny
Pawar) berusia 5 tahun tengah bermain dengan kupu-kupu, kemudian
diperlihatkan sosok Guddu (Abhisek
Bharate)—kakak Saroo—berdiri di kejauhan dan memanggil nama Saroo. Pada opening scene ini, Garth Davis seperti memberikan warning
kepada penonton mengenai film apa yang akan mereka saksikan selama 118 menit ke
depan.
Film ini dibagi
menjadi dua bagian, di mana pada setengah bagian pertama bercerita mengenai Sarro kecil yang hidup dan dibesarkan dalam
keluarga serba kekurangan dalam segala hal, bahkan untuk mendapatkan dua
kantung susu saja mereka harus melakukan pekerjaan berat dan berbahaya untuk
usia mereka. Saroo kecil bisa dibilang seorang anak yag keras kepala dan gigih
untuk membantu kakaknya, ikatan yang terjalin antara kakak-beradik yang dibawakan
oleh Sunny dan Abhisek ini bisa ditransfer secara mulus kepada para penonton—ketika
saya menontonnya, saya seperti bisa merasakan bagaimana mereka saling
menyayangi, sekali lagi Garth Davis
memberikan eksekusi yang apik mengenai bonding
dua bersaudara ini.
Lalu, pada suatu
malam Guddu harus pergi mencari apa saja yang bisa ia kerjakan untuk dapat
menghasilkan uang, dan tepat pada saat itulah Saroo kecil memaksa ikut, dengan
susah payah Guddu menolak permintaan Saroo, akan tetapi pada akhirnya ia
menyerah dan mengizinkan Saroo ikut dengannya.
Mereka berdua
pergi ke sebuah stasiun, menyisir peron dan gerbong untuk bisa melihat
kesempatan baik bagi mereka berdua. Saat waktu semakin larut dan Saroo kecil
jatuh tertidur, Guddu menidurkan Saroo pada sebuah kursi di peron stasiun dan
meminta kepada adiknya ini untuk menunggunya di situ sampai ia datang. Dengan
janji akan membawakan banyak kue jalebi, Guddupun meninggalkan Saroo. Namun,
kesabaran Saroo tak bisa mengaminkan apa yang diminta oleh kakaknya, ia merasa
bosan dan pada akhirnya ia memutuskan untuk menyusul kakaknya. Akan tetapi,
setelah banyak usaha yang ia keluarkan untuk mencari Guddu malah berujung pada
kenyataan bahwa ia tertidur pada sebuah kursi di dalam kereta yang tanpa ia
sadari bergerak menjauh dari tempat di mana Guddu menyuruhnya menunggu.
Setelah bergerak
semakin jauh dari tempat asalnya, Saroo menginjakkan kaki di Kolkata (sebelumnya
disebut Kalkuta), sebuah kota yang jauh lebih besar dari tempatnya berasal.
Dengan keadaan Saroo yang belum bisa membaca dan tanpa pemahaman bahasa Bengali,
perjalanan Saroo dimulai. Di sini kita menyaksikan bagaimana seorang anak kecil
yang terpisah dari kakaknya dan harus mencari jalan pulang kembali ke rumahnya,
di tempat yang tak ia kenali, dengan bahasa yang tak ia mengerti, Saroo mencoba
bertahan, dan sekali lagi acting
Sunny Pawar di sini memang dapat dengan mudah sekali untuk sekadar mengajak
para penonton untuk turut serta merasakan apa yang ia rasakan. Tidak akan saya
jelaskan bagaimana perjalanan Saroo secara detail, tetapi tentu saja seperti
yang kita ketahui bahwa Saroo akhirnya dipertemukan dengan Sue (Nicole Kidman) dan John Brierley (David Wenham) yang mengadopsi Saroo
menjadi anak mereka.
Kemudian, setengah
bagian kedua film ini kita diajak untuk melihat bagaimana keadaan Saroo setelah
20 tahun hidup dengan kehidupan barunya bersama keluarga Brierley. Saroo (Dev Patel), seorang pria muda dengan
ambisi hidup yang tinggi memutuskan untuk pindah ke Melbourne untuk menempuh
studi Manajemen Perhotelan. Tanpa disangka, di tempat barunya ini Saroo bertemu
dengan banyak teman yang berasal dari India. Hingga tibalah pada suatu malam
ketika Saroo dan teman-temannya berkumpul, dan di sana Saroo ditempatkan pada
titik balik yang akhirnya membuat dia ingat kembali dengan keluarganya di
India. Memang akan menimbulkan pertanyaan, mengapa harus menunggu 20 tahun
untuk Saroo kembali ingat, dan kenapa hanya sebuah kue jalebi yang membawanya
ingin pulang dan mengingat kakanya—tentu saja saya juga ingin menanyakan hal
tersebut, akan tetapi akan saya ingatkan bahwa film LION ini adalah film yang mengajak
kita untuk ‘ayo, tonton, nikmati saja’, kenapa? Karena kalau kita terlalu
mempermasalahkan hal-hal seperti ini, atau bahkan membicarakan bagaimana film LION secara teknis, oh, ayolah, hal itu
hanya akan merusak emosi film yang telah dibangun sedari awal. Jadi, saran
saya, nikmati saja. Hanya itu.
☺☺☺☺☺
JIKA membandingkan
antara dua bagian film LION—maka di
awal bagian kedua sampai beberapa saat sebelum film ini selesai, LION seperti kehilangan taringnya,
seperti kehilangan emosinya. Saya sangat menikmati apa yang disampaikan oleh Sunny Pawar, sangat mencintai bagaimana
Sunny dan Abhisek lewat acting mereka
yang natural—namun hal ini tidak terlalu saya rasakan pada perpindahan bagian
ini.
Emosi yang
sempat hilang dari penonton tak lama dikembalikan oleh Garth Davis saat Saroo bertemu dengan ibu kandungnya. Tanpa berkata
apa-apa, namun apa yang disuguhkan oleh Dev
Patel dan Priyanka Bose yang
tanpa banyak dialog hanya keduanya saling bertukar tatap saja, ini sudah jauh
dari cukup, eksekusi yang sekali lagi sangat memuaskan dari Garth Davis.
Sumber Gambar: Google Image |
Sebenarnya ada
beberapa bagian yang menurut saya hanya diperlihatkan secara dangkal atau hanya
sebagai pemanis saja dalam film ini, kita ambil contoh scene ketika Saroo dan Lucy (Rooney
Mara) berjalan bersebarangan di jalan menuju flat mereka masing-masing, cara bagaimana Lucy berjalan dan berlari
kecil menurut saya merupakan sentuhan bolywood yang sengaja diberikan oleh
Garth Davis dalam LION dengan latar
Melbourne—namun, seperti yang saya katakana sebelumnya bahwa scene tersebut hanya sebuah pemanis yang
mengajak penonton untuk tersenyum sejenak sebelum harus mulai menangis lagi
untuk mengikuti perjalanan Saroo untuk pulang.
☺☺☺☺☺
BUKAN SEBUAH TRIVIA, tapi saya akan membahas lebih banyak mengenai Manthos—saudara tiri
Saroo saat dibesarkan dalam keluarga Brierley. Seorang teman bertanya kepada
saya mengenai keadaan Manthos atau sebenarnya apa yang terjadi kepada Manthos.
Baiklah, marilah kita mengingat kembali bagaimana karakter Manthos dikenalkan
dalam film LION.
Manthos sama
dengan Saroo, seorang anak India yang kemudian diadopsi oleh keluarga Brierley,
yang saya bisa pastikan apa yang dialami oleh Saroo sebelum akhirnya diadopsi,
hal ini juga dialami oleh Manthos. Berangkat dari asumsi itu, kita bisa
memastikan bahwa hidup Manthos tidaklah mudah. Saat pertama kali tiba di rumah
keluarga Brierley, Manthos memperlihatan respon yang bagi kebanyakan orang
adalah aneh atau berlebihan. Manthos awalnya hanya melihat semuanya dengan
diam, namun tak lama dari itu Manthos kemudian membenturkan kepalanya ke kaca televisi.
Sue dan John berusaha keras untuk menenangkan Manthos.
Ketika Manthos
sudah dewasa pun, dikatakan oleh Sue bahwa Manthos adalah anak yang sebenarnya
cerdas, hanya saja dia tidak bisa mengendalikan emosi yang dimiliki. Hal ini
terlihat ketika Manthos dan Saroo duduk makan malam bersama dan berujung
Manthos memukul kepalanya sendiri dengan sendok berulang kali. Lalu, sebenarnya
ada apa dengan Manthos?
Berangkat dari
apa yang disampaikan oleh Sue, ada kemungkinan bahwa Manthos mengalami
kesulitan dalam hal meregulasi emosi yang ia miliki. Menurut Richard dan Gross
(2000), regulasi emosi adalah suatu pemikiran atau perilaku yang dipengaruhi
oleh emosi. Ketika mengalami emosi yang negatif, orang biasanya tidak bisa
berfikir dengan jernih dan melakukan tindakan di luar kesadaran. Lebih
tepatnya, regulasi emosi adalah bagaimana seseorang dapat menyadari dan mengatur
pemikiran dan perilakunya dalam emosi-emosi yang berbeda (emosi positif ataupun
negatif).
Individu yang mempunyai
masalah dalam meregulasi emosi, maka akan ada kecenderungan untuk melakukan self injury. Self injury merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mempertahankan hidup dan merupakan metode coping
terhadap keadaan emosional yang sulit seperti kecemasan, stress, dan
perasaan negatif lainnya (Alderman dan Connors, 2005). Self injury adalah salah satu cara yang sering dipilih sebagai cara
yang paling efektif untuk menanggulangi masalah yang sedang dihadapi, meskipun
harus menyakiti diri sendiri (Walsh, 2006).
Melihat pola
perilaku Mantosh, self injury yang
dilakukannya lebih dikenal sebagai stereotypic
self injury, merupakan self injury
yang bersifat lebih ringan namun sifatnya lebih berulang (Strong, 1998). Self
injury tipe ini meliputi perilaku berulang seperti membenturkan kepala pada
lantai, memukul kepala dengan benda-benda yang ada di sekitarnya, dan
perilaku-perilaku yang sifatnya berulang lainnya. Individu yang dikelompokan
dalam tipe self injury ini biasanya
memiliki kelainan saraf seperti autisme ataupun sindrom tourette.
Bermodal
pengertian di atas, maka jangan merasa aneh atau melabeli orang-orang seperti
Mantosh sebagai individu aneh yang harus dijauhi. Karena bagaimanapun, mereka
tetaplah saudara yang harus kita jaga dan kita maknai dengan baik
keberadaannya.
☺☺☺☺☺
Saya bersama ipehalena.com
diberikan sebuah pertanyaan mengenai film ini oleh teman kami jejakjuli.com—menurutnya,
pelajaran apa yang bisa kami ambil dari film ini? Jawaban saya secara subjektif
adalah tentu saja mengenai pulang kembali ke rumah itu sendiri. Kenapa? Saya
adalah seorang yang bisa dikatakan perantau yang harus pergi jauh dari rumah
untuk meneruskan pendidikan saya dan akhirnya bekerja seperti saat ini. Selama
hampir 10 tahun saya merantau, nampaknya saya tidak seperti teman-teman lainnya
yang selalu ingin pulang, yang selalu rindu kampung halaman—tidak, saya bukan
orang seperti itu. Bisa dikatakan saya jarang pulang, bagaimana tidak, saya
hanya pulang ke rumah setahun sekali saat hari raya idul fitri, selebihnya? Kalau
ada hal-hal mendesak saja saya pulang. Rindu kampung halaman? Ini juga jarang
terjadi, entah kenapa. Maka dari itu, melalui film ini saya diingatkan kembali
bahwa ada orang-orang yang selalu menunggu kepulangan saya di sana. Mereka tak
mengharapkan suatu apapun, sebuah kabar bahwa saya sehat dan berkumpul kembali
di rumah adalah satu-satunya hal yang lebih besar dari apapun untuk keluarga
saya.
Jika teman
pembaca lainnya belum menonton film ini, saya sarankan untuk segera menontonnya—akan
tetapi perlu saya ingatkan bahwa siapkan tisu sebelum memulainya. Dan pada
akhirnya, di manapun kaki ini memulai untuk melakukan sebuah perjalanan, maka
kaki pula yang akan membuat langkah pertama untuk mencari jalan pulang.
☺
Selamat Menonton ☺
Sumber
tertulis:
Richards, J. M., Gross, J. J. (2000). Emotion Regulation
and Memory: The Cognitive Costs of Keeping One’s Cool. Journal of Personality and
Social Psychology, 79(3), 410-424. doi: 10.1037/0022-3514.79.3.410
Walsh, B. W. (2006). Treating Self Injury: A Practical
Guide. NY: The Guilford Press
Strong,
M. (1998). A Bright Red Scream: Self Mutilation and The Language of Pain. NY:
Penguin
Bahkan saya ngeskip bagian percintaan Saroo gede. Ga begitu menarik mending lanjut ke usaha si Saroo belajar peta India sambil ngitung jarak.
BalasHapusHahahahaha... Kebanyakan orang akan melakukan hal yang sama.
HapusPadahal Rooney Mara gitu ya yang meranin, hish.
Kok sama sik. Gua juga ngerasa kehadiran Rooney Maray di film ini hampir nggak ada fedahnya. Cuma pelengkap. Konflik batin pada Saroo dewasa memang kurang gereget sih, tapi cukup memuaskan buat gua.
BalasHapusIya, Jul. Kurang greget, rasa frustasinya juga kurang ngegigit.
Hapus