[Psikologi] - Victim Blaming Tendencies pada Korban Pemerkosaan
Sumber: Google |
Sudah
berapa banyak berita pemerkosaan yang kita dengar atau baca? Bagaimana
penanganan pada kasus pemerkosaan di negeri kita? Dan sudah berapa banyak pula
komentar negatif dari nitizen
mengenai kasus pemerkosaan? Sangat disayangkan bahwa sebagian dari mereka masih
beranggapan bahwa kasus pemerkosaan merupakan kasus kriminal di mana pihak
korban merupakan penanggung jawab sehingga kasus ini terjadi. Dan lebih
disayangkan lagi, banyak orang yang duduk di kursi penguasa juga mempunyai
pandangan tak masuk dinalar ini, bagaimana tidak? Sepertinya masih hangat di
telinga kita mengenai statement yang
dikeluarkan oleh Ramli Mansur, yang merupakan pejabat daerah di Aceh
Barat. Ia pernah mengatakan, “When women
don’t dress according to syariah law, they are asking to get rapped”, yang
menurut saya ini adalah statement
konyol sepanjang sejarah peradaban manusia. Dan, apa yang dilakukan oleh Ramli
Mansur dan orang-orang yang berpendapat bahwa wanita merupakan faktor utama
penyebab terjadinya pemerkosaan adalah yang disebut sebagai Victim blaming.
Sumber: Google |
Adanya
sifat konservatif yang dimiliki oleh berbagai pihak dan adanya penguat dari
kebudayaan di lingkungan kita merupakan pupuk yang menyuburkan adanya victim blaming, dan secara tidak
langsung hal ini merupakan sikap yang memaklumi pelaku pemerkosaan serta memperkuat perbedaan kekuatan dan
kekuasaan antar jenis kelamin wanita dan pria (Richmond-Abbot, 1992, dalam
Ekandari). Menurut Ryan (1976, dalam Ekandari), konsep victim blaming adalah tentang pembenaran atas ketidakadilan dengan
menemukan cacat atau kesalahan pada korban ketidakadilan.
Dalam
konsep victim blaming, perempuan
sebagai korbanlah yang dipersalahkan, melalui kata-kata dan kalimat yang ada
dalam pemberitaan media, perempuan dalam satu waktu digambarkan sebagai korban
sekaligus pemicu terjadinya pemerkosaan yang menimpa dirinya. Dalam
memberitakan kasus yang berhubungan dengan perempuan, media seringkali
menggunakan judul pemberitaan yang sensasional, berkonotasi negatif, dan
menimbulkan kontroversi yang bertujuan meningkatkan oplah penjualan. Hal ini
justru semakin menegaskan posisi perempuan sebagai sosok lemah dan minoritas di
masyarakat.
Padahal
jika ditilik lagi dari pengertian pemerkosaan sendiri adalah segala bentuk
pemaksaan hubungan seksual (Rifka Annisa, Women’s
Crisis Center). Sedangkan pengertian pemerkosaan menurut Sifan Dahlan
adalah sebuah perbuatan bersenggama yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan
(force), menciptakan ketakutan (fear), atau dengan cara memperdaya (fraud). Cukup menggunakan dua pengertian
tersebut di atas, dapat digarisbawahi bahwa pemerkosaan secara jelas merupakan
tindakan asusila yang melibatkan faktor pemaksaan terhadap korban pemerkosaan.
Lalu bagaimana jika hal ini dikaitkan dengan victim blaming? Apakah memang pemaksaan di sini merupakan keadaan
di mana korban meminta hal tersebut? Tentu saja tidak, nampaknya terjadi
miskonsepsi antara kata ‘pemaksaan’ dengan kata ‘meminta’ dalam kasus victim blaming.
Selain
itu, belum lagi jika dilihat dari segi dampak yang ditanggung oleh korban
pemerkosaan di sini. Korban mempunyai kemungkinan untuk mengalami stress paska
pemerkosaan, di mana stres di sini dibedakan menjadi dua jenis, yakni stres
yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang langsung terjadi merupakan
reaksi paska pemerkosaan seperti kesakitan fisik, rasa bersalah, takut, cemas,
malu, marah, dan tidak berdaya. Sedangkan stres jangka panjang merupakan gejala
psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa kurang percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup
diri dari pergaulan, dan juga reaksi somantik seperti jantung berdebar dan
keringat berlebihan.
Jika
dilihat dari dampak yang harus dialami oleh korban pemerkosaan, nampaknya hal
ini juga bisa membuktikan bahwa dalam kasus pemerkosaan korban tidak pernah
meminta untuk diperkosa, apapun alasannya—baik ketika si korban memakai baju
yang tebuka, si korban pulang malam, ataupun korban mempunyai kebiasaan meminum
minuman keras—sekali lagi, korban tidak pernah meminta atau mengundang pihak
lawan jenis untuk memperkosa dirinya.
Victim blaming
adalah sebuah pencemaran peradaban manusia, bagaimana tidak? Di mana letak sisi
kemanusiaan manusia itu sendiri ketika mengatakan ‘salah sendiri pakai rok
mini, ya panteslah diperkosa’? Mungkin sudah tidak ada lagi sisi kemanusiaan
yang tertinggal di jasad hidup mereka.
Menanggapi
victim blaming yang secara perlahan
telah menjadi bagian dari kebudayaan kita, di sini adalah peran masyarakat yang
lebih mengerti untuk mengentaskan masyarakat lainnya dari pengaruh victim blaming, dan tidak harus menunggu
pemerintahan untuk mengatasi atau memecahkan hal ini—karena kita adalah pihak
terdekat dengan orang-orang yang mempunyai paham seperti ini.
Dengan
tujuan dan membentuk kebudayaan yang lebih beradab, dengan menghapus adanya victim blaming, hal ini juga akan
membuat para korban untuk berani menyuarakan apa yang telah menimpa mereka agar
para pelaku pemerkosaan dapat diadili sesuai dengan hukum yang berlaku, dan
tidak hanya berlindung di bawah naungan statement
‘When women don’t dress according to
syariah law, they are asking to get rapped’. Para korban membutuhkan
dukungan masyarakat sekitarnya untuk berani melakukan langkah yang berarti
sehingga apa yang menimpa mereka dapat didengar dunia dan agar hal ini juga
berdampak positif dengan adanya perbaikan hukum mengenai pelaku pemerkosaan.
Catatan:
Esai ini ditulis selain sebagai tugas ujian take home mata kuliah Psikologi
Forensik, juga sebagai bentuk keprihatinan dari nilai kemanusiaan yang semakin
terkikis.
Referensi:
Ekandari.
(2001). Perkosaan, Dampak, dan Alternatif Penyembuhannya. Universitas Gajah
Mada. Jurnal Psikologi, 1, 1-18
Mansuruddin,
Susilo. (1997). Wanita, Male Oriented,
dan Perkosaan. Undefined FSU, in the Limitlight Volume 5 Nomor 1, Juli 1997
Putri,
Aria. (2012). Blaming The Victim: Representasi Perempuan Korban Perkosaan di
Media Massa. Universitas Diponegoro
Trims Artikelnya sangat membantu ...
BalasHapusDengan senang hati, Kak.
HapusTrima kasih juga atas kunjungannya... ^^