[Ulasan Buku] - BLAKANIS
Judul: BLAKANIS | Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama | Jumlah Hlm.: 288 hlm
Cetakan Pertama, Juni 2008 | ISBN-10: 979-22-3765-8
BLAKANIS—adalah buku kedua yang saya baca dari penulis Arswendo. Dengan
sampul yang didominasi warna hitam, desain buku ini cukup bisa mencuri
perhatian teman saya yang seorang desainer grafis dengan perhatian, “Wih, buku apaan nih? Bagus desain covernya.”,
memang desain dari sampul buku ini sederhana, tapi bagi saya unik, seperti
desain-desain kaos dengan kalimat propaganda yang akhir-akhir ini kerap dipakai
oleh para anak muda. Setelah bulan kemarin saya berkenalan dengan Bong, saya
cukup menaruh harapan pada tokoh di buku kedua ini, saya berharap agar tokoh
utama di Blakanis dan tokoh-tokoh pendukung lainnya mempunyai karakater yang
konsisten dan tak kalah kuat dari Bong dan teman-temannya.
Dia dikenal dengan sebutan Ki Blaka, meskipun di akta lahir dan kartu
pengenal dia mempunyai nama Wakiman. Pria paruh baya yang berusia 58 tahun ini
suatu saat menjadi terkenal, tak hanya orang-orang di sekitarnya saja yang
mengenalnya, namun para pesohor negeri nampaknya mulai menaruh perhatian lebih
lewat gebrakan yang ia berikan. Meski menurutnya apa yang dia sampaikan adalah
hal biasa, tidak harus menjadi hal yang menyerap begitu banyak spotlight dari dunia luar. Bagaimana
tidak? Toh juga perusahaan franchise
ayam yang bermarkas di Negeri Paman Sam saja dikabarkan tutup secara serentak
karena ulahnya? Atau nilai dolar yang menurun, atau para pemuka negeri yang
mulai kalang kabut karena tingkahnya.
Blakanis adalah novel yang ditulis pada 2007 (itu menurut yang diterakan
di akhir bab buku ini), tema besar yang diusung oleh Arswendo menurut pendapat subjektif
saya adalah Humanistis, meski para pengulas lainnya menganggap tema yang diangkat
adalah soal Spiritualitas, saya tidak begitu menaruh perhatian, toh sudah
saya jelaskan ini menurut pandangan subjektif saya. Kemudian dari sebuah tema
besar humanistis, Arswendo mengusung kejujuran sebagai tajuk cerita Blakanis
secara keseluruhan.
Novel ini terdiri dari 4 bab, yang mana masing-masing babnya merupakan
jabaran lewat beberapa sudut pandang berbeda dari tokoh-tokoh di dalamnya.
Sebut saja pada bab pertama, melalui sudut pandang Mareto—seorang mantan intel
yang lahir pada bulan Maret yang kemudian di pemukiman Blakan dia bertugas
untuk mengawal Ki Blaka—pada bab ini Ki Blaka digambarkan sebagai sosok yang
lebih manusiawi dan tanpa ada kesan mendewakan oleh Mareto menurut saya. Lewat
Mareto, kita dapat mengetahui bagaiamana pada awalnya kampung atau pemukiman
Blakan bisa terbentuk, bagaimana kampung Blakan akhirnya didatangi oleh banyak
orang, bagaimana kampung Blakan yang dulunya adalah sebuah lahan gersang tak
terurus menjadi tempat yang ramai diperbincangkan oleh orang, dan bagaimana
akhirnya permukiman Blakan diratakan dengan tanah oleh pihak-pihak yang entah
saya juga kurang tahu, apakah pemerintah? Atau pengusaha yang ingin membangun
pabrik di kawasan itu? Atau oleh para petinggi yang merasa gerah karena
keberadaan pemukiman Blakan?
Pada bab kedua, kita melihat segalanya dari sudut pandang seorang Suster
Emma, atau lebih akrab dipanggil sebagai Suster Emak. Beda dari bab pertama
sebelumnya, di sini pada tiap awal bagian akan diberikan kutipan kalimat yang
pernah diucapkan oleh Ki Blaka, kemudian akan dijelaskan kapan kalimat itu
diungkapkan dan penjelasan dari sudut pandang Suster Emak. Suser Emak adalah
orang yang juga mendampingi Ki Blaka, dia bertugas untuk mencatat apa yang dikatakan
Ki Blaka dan para kaum Blakan pada saat pertemuan, maka tak ayal, pada bab
kedua ini juga akan ditemukan cerita-cerita dari kaum Blakan yang pernah
singgah di pemukiman Blakan dan ceritanya tak lepas dari pencatatan Suster
Emak, sebagai contoh cerita dari Lola seorang yang dulunya pernah menjadi
primadona di lingkungannya namun tak pernah dihargai keberadaannya meski sampai
pada posisinya sebagai induk semang bagi perempuan-perempuan yang senasib
dengannya, hingga pada akhirnya ketika dia berkunjung di pemukiman Blakan, dia
berubah nama atau lebih tepatnya dipanggil oleh Ki Blaka menjadi Ola. Ola,
sebuah nama baru untuk Lola, yang nantinya dari pengurangan satu huruf di
deretan namanya bisa membawa perubahan yang luar biasa besar dalam hidupnya,
meski hanya singgah beberapa saat di pemukiman Blakan—selain Ola, teradapat
kisah perjalanan singkat yang dialami oleh orang-orang yang pernah bermukim
atau entah hanya singgah sesaat di pemukiman Blakan.
Pada bab ketiga, diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Pada
awalnya dijelaskan akan dibuatnya sebuah buku yag berjudul Kisah Para Blakanis, buku ini tak lain adalah kumpulan dari
kisah-kisah Blakanis yang pernah tersuarakan pada pertemuan di pemukiman
Blakan. Selain itu di sini juga dijelaskan bagaimana isi pikiran Ki Blaka dalam
menyikapi hal-hal yang terjadi di luar sana, yang menurut kabar burung
disebabkan olehnya.
Pada bab terakhir, yakni bab keempat—masih diceritkan melalui sudut
pandang orang ketiga yang memberikan gambaran akan kehidupan pemukiman Blakan
setelah kepergian Ki Blaka, bahwa ada Ki Blaka Lurik yang siap menggantikan
posisi Ki Blakan. Pada hari ke-40 kepergian Ki Blakan, tepat pada hari Jumat Pon—hari
yang juga disepakati sebagai hari para Blakanis—merupakan sebuah hari baru bagi
para Blakanis dengan pemimpin baru mereka. Siapakah orang yang pantas
menggantikan Ki Blaka? Apakah Ki Blaka Lurik? Ataukah Ali, Suster Emak, atau
Ai? Atau malah Sopi?
***
Kejujuran yang diajarkan atau disebarkan oleh Ki BLaka ini adalah sebuah
pola hidup, kebiasaan. Bagi mereka, siapa saja yang menginjakkan kakinya di
pemukiman Blakan, diharuskan bersikap blaka. Blaka sendiri berasal dari bahasa
Jawa yang berarti terus terang;jujur, kemudian
diadopsi oleh Ki Blaka dan dikenalkan kepada orang lain.
“Jujur itu seperti bernapas. Kita tak perlu berlajar lebih dulu, tak perlu mengatur bagaimana memulainya. Sangat sederhana, semua juga bisa melakukannya.” (halaman 104)
Dari kutipan di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa kejujuran
sebenarnya bukan perihal dengan siapa kita berhadapan, bukan perihal bertindak,
bukan perihal pilihan. Kejujuran menurut saya sama dengan juga kebahagiaan.
Jika manusia mempunyai kewajiban yang sama dalam berbahagia (dalam pandangan
logoterapi), maka sudah barang pasti jika manusia mempunyai kewajiban yang sama
untuk bersikap jujur. Bukan begitu?
Pada awal ulasan ini saya berpendapat bahwa tema besar yang diusung oleh
Arswendo kali ini adalah humanistis, mengapa?
Menurut Aristoteles pada bukunya yang berjudul Ethika Nikomacheia, dikatakan bahwa tujuan manusia untuk hidup di
dunia ini tidak lain adalah untuk bahagia, hal-hal yang bersifat duniawi
seperti kekayaan, posisi, kecantikan, kecerdasan, atau bahkan suatu hal
esensial yang berhubungan langsung dengan spritualitas—itu semua adalah media
untuk mencapai kebahagiaan (Eudaimonia).
Kebahagiaan hanya dapat ditemukan pada kodrat manusia yang unik, dan hal inilah
salah satu pembeda antara manusia dengan organisme hidup lainnya.
Kodrat seorang manusia adalah mereka mempunyai akal budi, yang mana
melalui itulah mereka nantinya dapat mencapai keutamaan-keutaman dalam
kehidupan mereka. Keutamaan mempengaruhi manusia dalam berpikir, memproses
segala sesuatunya dengan lebih mendalam secara nalar—atau hal ini juga lebh
sering dijelaskan sebagai kemampuan
manusia berada di titik tengah, keadaan di mana manusia berada antara dua titik
ekstrem yang saling bertentangan atau berbeda. Dan salah satu interpretasi
dari keutamaan ini pada diri manusia adalah kejujuran.
Sepaham dengan apa yang disampaikan oleh Ki Blaka bahwa untuk bersikap
jujur kita harus memulainya dengan sikap terbiasa jujur, jika sudah terbiasa
maka dalam keadaan atau posisi apapun kita akan selalu menjadi pribadi yang
blaka. Pun Aristoteles, menurutnya keutamaan hidup (salah satunya adalah
kejujuran) hanya dapat diperoleh melalui latihan dan pendidikan. Bukankah di
sini latihan mempunyai makna yang sama dengan pembiasaan ala Ki Blaka?
***
Saya menyukai ide yang disampaikan pada buku ini, meskipun kadang saya
merasa Ki Blaka ini bukan orang dengan keistimewaan tetapi kenapa sepertinya
dia adalah orang yang penuh dengan kharisma dan pengaruh yang luar biasa besar
bagi orang-orang disekitarnya? Apakah Ki Blaka tidak terlalu melulu
di-dewa-kan? Ah, itu hanya satu dari ketidaknyamanan saya akan buku ini.
Pernah saya bertemu dengan editor dari salah satu penerbit, dia
mengatakan bahwa buku yang baik adalah buku yang bisa menemani, menghibur, dan
menginspirasi (jika terdapat kesalahan dari ketiga sifat buku yang baik
tersebut, maafkanlah saya)—lalu bagaimana dengan BLAKANIS? Saya rasa, ketiga
komponen dari buku yang baik itu sudah ada pada genggamannya.
"Saya ingin mengatakan, jujur dimulai dari senyap. Dari lubuk hati, dan seharusnya tetap senyap, sepi dari pamrih apapun." (halaman 122)
***
Catatan: Saya mendapatkan penjelasan akan pandangan Aristoteles mengenai keutamaan hidup dari rumahfilsafat.com.
Komentar
Posting Komentar