[Ulasan Buku] - 3 Cinta 1 Pria



Judul: 3 Cinta 1 Pria | Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama | Jumlah Hlm.: 296 hlm
Cetakan Pertama, Oktober 2008 | ISBN: 979-22-4074-8

3 Cinta 1 Pria—saya mempunyai buku ini sejak 2 tahun yang lalu, berarti genap 2 tahun pula buku ini hanya tertumpuk atau lebih tepatnya tertimbun begitu saja pada rak buku saya. Hingga pada suatu hari, seorang teman menceritakan tentang betapa gilanya buku ini, ya sebut saja dia adalah Budhe @ipehalenasubagja, dan atas rekomendasi beliau inilah akhirnya saya menyibak debu 2 tahun yang telah menjadi selimut buku ini.

Bong, sebut saja dia Bong—tanpa awalan dan akhiran, pun bukan sebuah nama yang nampaknya tertera pada akta kelahirannya, yang jelas semua orang memanggilnya Bong. Dia adalah sosok lelaki yang dicintai oleh 3 wanita bernama Keka dari 3 generasi yang berbeda, dan secara ajaib 3 Keka ini adalah Keka yang terlahir dalam satu garis keturunan. Bagaimana bisa? Begitulah memang adanya dalam buku ini. Bong bukan sosok yang tampan, menurut deskripsi Arswendo dalam novel ini, tapi lewat dialog-dialog panjang yang kerap dilakukan oleh Bong ini, maka dari sanalah dapat diketahui bahwa Bong adalah sosok eksentrik, penuh kharisma.


Dari lahir Bong tidak mengenal siapa orang tuanya, siapa yang membesarkannya tidak terlalu dijelaskan dalam novel ini. Yang jelas, Bong dari kecil sudah bekerja untuk tuannya yang tinggal di rumah besar. Bong pertama kali merasakan kasih sayang, atau paling tidak perhatian dari orang lain adalah pada saat seorang wanita tua yang dulu juga pernah bekerja di tempat yang sama dengannya di rumah besar bersedia untuk merawatnya paska ia disunat pada usia yang bisa dibilang telat.

Bong pada usia remaja melakukan perantauan di kota, dengan modal nekat layaknya perantau pada umumnya, tanpa saudara dan tanpa uang yang bisa menjadi jaminan hidupnya di kota orang lain. Bong dari remaja digambarkan sebagai pekerja keras, meski tak pernah dijelaskan bahwa Bong pernah mengenyam pendidikan di sekolahan, Bong nampaknya cukup dengan tekad belajar yang tinggi saja untuk menjadi seorang yang besar dan beruang pada masanya.

Entah sudah tidak ada lagi pria lain atau bagaimana, Keka (generasi pertama) jatuh cinta begitu saja kepada Bong. Ya, ini pun terjadi pada 2 Keka lainnya dan saya. Ah, betapapun juga saya harus mengakui bahwa Arswendo lewat Bong-nya telah membuat saya jatuh hati. Karakter yang diberikan kepada Bong ataupun karakter lainnya sangat kuat. Meski kadang saya berpikir bahwa Bong terlalu lama dalam mengambil keputusan untuk memperjuangkan nasib Keka dengannya.

Berbicara 3 Keka, lantas kepada siapa Bong akhirnya menentukan pilihan? Ya, jawabannya ada dalam buku ini jika teman-teman berkenan membacanya.

Dalam novel ini akan sering kita jumpai perumpamaan yang melibatkan pohon talok, pohon gede, ataupun ikan lele. Dan ternyata, si penulis secara khusus telah memberikan catatan tambahan mengenai hal ini. Kenapa harus talok? Kenapa bukan lainnya? Penulis menyebutkan bahwa pada salah satu masa dalam hidupnya pernah bersentuhan langsung dengan pohon talok. Pohon talok yang kerap menaunginya saat dia berbaring, atau pohon talok yang buahnya pernah ia jadikan sebagai makanan selingan. Untuk memberikan sesuatu yang bisa membuat orang lain tahu bahwa pohon talok “ada” dan lewat pengalaman pribadinya dengan pohon talok, maka jadilah sebuah novel yang gagasan utamanya berasal dari sana.

Dalam novel ini, selain Bong sendiri bahwa tidak ada tokoh lain yang mempunyai nama sebenarnya—semuanya layaknya nama sebutan saja. Sebut saja salah satu teman Bong yang kita mengenalnya dengan sebutan “teman yang kumisnya menawan”, atau mungkin kekasih Bong sendiri yang kita pun tak pernah tahu siapa nama sebenarnya. Dalam hal ini penulis memberikan catatan bahwa apapun itu, baik itu pohon gede, pohon talok, ikan lele, atau semua organisme yang ada di muka bumi ini—dinamai, dimaknai, atau tidak, mereka ini ada. Dan tumbuh dengan dinamikanya sendiri, bahkan kalau dianggap tak pernah ada sekalipun[1].

Untuk novel dari penulis yang karyanya baru pertama kali saya baca, saya berhasil dibuat jatuh cinta dengan tulisan Om Arswendo ini. Saya jatuh cinta dengan bagaimana cara beliau mendeskripsikan segalanya yang tercakup dalam novel ini, saya jatuh cinta dengan cara beliau menciptakan tokoh-tokoh dengan karakter yang kuat dan konsisten. Tetapi, selain hal-hal yang membuat saya jatuh cinta, dalam novel ini juga terdapat mungkin hanya satu hal yang membuat saya mengernyit—ya, dialog yang terlalu panjang. Saya tidak tahu apakah ini merupakan ciri dari penulis atau hanya sebuah kebetulan saja.

Selain hal itu, saya juga merasa sentuhan “kekuasaan” penulis pada novel ini. Bagaimanapun tidak? Apapun yang dilakukan oleh Bong, apapun itu—apakah saat dia menjadi buruh batu, menjadi guru, menjadi pelukis, atau yang lainnya, semuanya terkesan mulus dan berhasil. Bahkan karakter Bong ini juga kadang terkesan angkuh dan terlalu tinggi karena kebisaan yang ia miliki.

Untuk teman-teman yang masih di bawah umur atau paling tidak yang belum mempunyai kartu tanda penduduk, saya sarankan agar teman-teman menunda untuk membaca buku ini. Ya paling tidak sampai teman-teman memperoleh KTP itu tadi.

Selebihnya, saya memberikan 4 dari 5 bintang yang saya punyai untuk novel ini.

Malam yang indah adalah jika kamu melewati tanpa merasakan, tahu-tahu pagi dan ada embun pada daun, tampak anggun, bertutur santun padamu: Akulah rindu yang tertimbun. (hlm. 250)





[1] 3 Cinta 1 Pria, halaman 294



Komentar

  1. Saya udah punya KTP kakak, jadi boleh baca ya :)
    Nampaknya menarik bukunya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahahahaha... buku ini sangat kurekomendasikan, Masha.

      Hapus

Posting Komentar