[Impresi] - Harapan untuk Anak dengan HIV dan AIDS
Berikan Kami Harapan—sebuah film dokumenter tentang diskriminasi
dan stigma terhadap anak-anak dengan HIV dan Aids. Film ini merupakan bagian
dari rangkaian Pekan Kriminologi 2016 di Universitas Indonesia yang tercakup
dalam “Seminar Anak dengan HIV dan AIDS”. Seminar yang diselenggarakan pada
tanggal 10 November 2016 ini tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa-mahasiswa
Universitas Indonesia saja, tetapi di sana saya juga menemui beberapa kelompok
mahasiswa dari Universitas lainnya. Melalui film ini, secara praktis kami
peserta seminar ditunjukkan bagaimana keadaan yang sangat memprihatinkan yang
dialami oleh anak-anak yang terlahir dengan HIV. Mereka lahir tanpa bisa
memilih akan dilahirkan dalam kelurarga seperti apa, dan Ibu yang bagaimana!
Mereka terlahir tanpa tahu-menahu apa itu HIV, tetapi mesti menanggungnya tanpa
ada pilihan lain. Ironis!
Pemateri dalam seminar ini berasal dari lingkungan yang berbeda
tetapi tetap kohesif untuk membahas isu yang diangkat dalam seminar.
Beliau-beliau yang saya maksudkan adalah:
- Natasya Sitorus, salah satu penggerak program Lentera Anak Pelangi—yang merupaka program layanan masyarakat Pusat Penelitian HIV Atma Jaya yang secara khusus melayani anak yang terinfeksi HIV dan keluarga.
- Dra. Maria Ulfah Anshor, M. Si., merupakan anggotan KPAI yang dipercaya sebagai komisioner penanggung jawab bidang Sosial dan Darurat Bencana.
- Dra. Mamik Sri Supatmi, M. Si., merupakan dosen kriminologi Universitas Indonesia.
- Dr. Hamid Patilima, salah satu penggerak Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.
Dari keempat pemateri di atas, Mba Tasya-lah yang paling banyak
memberikan penjelasan mengenai isu yang diangkat dalam seminar kali ini, hal
ini tidak lain menurut saya karena memang di antara keempatnya, Mba Tasya yang
bergelut secara langsung bersama anak-anak dengan HIV dan Aids ini, meskipun
dari pihak KPAI juga pasti mempunyai andil yang tak kalah signifikan. Dan
berikut ringkasan singkat mengenai isi dari materi yang disampaikan oleh Mba
Tasya:
Apa
itu HIV dan AIDS?
HIV
adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yakni virus
yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan melemahkan kemampuan tubuh untuk
melawan infeksi dan penyakit.
AIDS
adalah singkatan dari Acquired Immunodeficiency Syndrome, yakni
sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang muncul karena rusaknya
sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Jadi, secara sederhana
bahwa Aids adalah kondisi di mana seseorang sudah dalam keadaan rentan terhadap
penyakit.
Bagaimana
anak-anak terinfeksi?
- 5-10% terinfeksi dari mereka berada dalam kandungan
- 15% terinfeksi pada saat proses kelahiran
- 5-15% terinfeksi pada proses menyusui. Terinfeksi dari Ibu, bukan pada saat tranfusi darah (usia kurang dari 10 tahun)
Apakah
mereka mengetahui kondisi mereka?
- Mereka tidak
mengetahui kondisi sebenarnya. Hal ini disebabkan:
- Orang tua atau
perawat (pihak keluarga yang merawat) belum siap untuk menjelaskan bahwa
mereka terinfeksi HIV.
- Anak dinilai
belum cukup dewasa untuk memahami kondisi mereka.
- Menunda untuk
memberitahukan keadaan yang sebenarnya dengan alasan kesiapan anak.
Padahal
langkah terbaik adalah dengan memberitahukan kondisi anak sedini mungkin kepada
anak secara bertahap. Secara bertahap di sini dimaksudkan pada, bahwa apa yang
akan disampaikan disesuaikan dengan kemampuan anak dalam menyerap informasi,
tidak dengan cara secara langsung dan tanpa informasi cukup si anak langsung
diberi tahu bahwa mereka terinfeksi HIV.
Jika
kita sebagai relawan, bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka?
Mereka
bukanlah anak-anak berkebutuhan khusus, jadi cara kita memperlakukan mereka
adalah sama dengan cara kita memperlakukan anak-anak lainnya di usia mereka.
Yang perlu diperhatikan adalah apakah anak sudah mengetahui status mereka
terhadap HIV atau belum, hal ini untuk menghindari pengungkapan status yang
tidak tepat kepada mereka.
Bagaimana
cara merawat mereka?
Untuk
meminimalisir dampak yang diberikan oleh HIV kepada anak-anak, maka mereka
haruslah diberikan obat secara teratur per 12 jam. Selain itu, dukungan
psikososial (kasih sayang, penerimaan, persamaan perilaku) juga sangat penting.
Penyelarasan
pemberian obat dan dukungan psikososial ini bertujuan agar anak mendapatkan
kesejahteraan baik secara fisik ataupun mental mereka.
Apa
hak yang dimiliki oleh anak dengan HIV?
Hak
yang dimiliki oleh anak-anak dengan HIV dan AIDS adalah sama dengan hak-hak
yang dimiliki oleh anak-anak pada umumnya.
Selain
itu, mereka juga harus dilindungi dari diskriminasi dan objek perilaku
kriminalisasi.
Perlindungan
anak Indonesia diatur dalam UU RI No. 35 tahun 2014 pasal 72.
Apa
penyebab stigma dan diskriminasi terhadap anak dengan HIV dan Aids?
- Informasi yang salah
- Kampanye yang salah
- Minimnya informasi yang didapat
- Pikiran yang sempit
- Keyakinan orang lain lebih rendah
- Perilaku moral
- Merasa terancam
Pencegahan
Stigma dan Diskriminasi!
- Memahami perbedaan
- Memperkaya diri dengan informasi tentang isu yang sedang beredar
- Memperkuat toleransi
- Menghargai orang lain
- Pendidikan moral
Penanggulangan
HIV dan Aids!
Edukasi,
advokasi, dan penegakan hukum
Dalam film dokumenter yang berjudul “Berikan Kami Harapan”, di
sana terdapat bagian yang memperlihatkan kepada kami bagaimana masyarakat luas
memandang status anak-anak yang terinfeksi HIV, jangankan ibu-ibu rumah tangga
yang mempunyai tingkat pendidikan biasa-biasa saja, bahkan mahasiswapun saat
ditanya, “Bagaimana pandangan mereka tentang anak-anak dengan HIV dan Aids?
Apakah mereka akan membiarkan anak-anak mereka bermain bersama?”, jawaban
sebagian besar koresponden adalah mereka tidak akan membiarkan anak-anak mereka
bermain dengan anak-anak yang terinfeksi HIV, dengan alasan anak-anak mereka
akan tertular virus tersebut.
Bagaimana awal pembentukan opini seperti ini bisa mengakar pada
cara pandang masyarakat? Hal ini tidak lain dengan salahnya informasi
yang pernah mereka terima sebelumnya. Bahwa perlu diadakannya sosialisasi untuk
isu ini, sangat perlu masyarakat diberikan penerangan apa itu HIV, apa itu
Aids, bagaimana menyikapi orang-orang dengan HIV dan Aids—karena salah kaprah
yang terlanjur mereka pahami inilah yang sampai saat ini masih banyak dijumpai
tindak diskriminasi kepada anak-anak dengan HIV dan Aids.
Adapun yang perlu dipahami tentang penularan virus HIV adalah
sebagai berikut:
- Hubungan seks tanpa alat pengaman.
- Berbagi alat suntik dengan orang-orang yang teah
positif terinfeksi HIV.
- Ibu hamil yangg positif HIV kepada bayinya selama
kehamilan, persalinan, dan menyusui.
- Melalui tranfusi darah.
- Melalui seks oral.
Dengan mengetahui informasi ini, maka sebagai bentuk peran
masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak, kita harus memberikan
informasi yang telah kita ketahui melalui sosialisasi dan edukasi kepada orang
lain. Dan, dengan berkembangnya media sosial, hal ini bukanlah suatu hal yang
sulit untuk dilakukan bukan? Jika semua masyarakat berperan aktif dalam
memberikan sosialisasi, maka secara tak langsung masyarakat juga telah berperan
aktif dalam menghilangkan pelabelan negatif terhadap anak-anak dengan HIV dan
Aids.
“Satu anak adalah satu nyawa, dan setiap nyawa berharga”.
Stigma dan diskriminasi masyarakat Indonesia ini benar-benar masih teramat rendah. Pada banyak golongan, baik anak dengan HIV Aids, anak berkebutuhan khusus sampai anak-anak yang menunjukkan gejala ketidaksehatan mentalnya.
BalasHapusPrihatin sekaligus ironis, karena yang mendominasi adalah orang-orang seperti ini :(
Nah, maka di sinilah peran kita untuk menyosialisasikan informasi yang benar kepada teman-teman kita lainnya. Agar stigam dan diskriminasi tidak terjadi lagi di lingkungan kita.
HapusGue sih berharap sejak di Sekolah Dasar anak-anak sudah dibekali pendidikan moral yang cukup intensif. Lalu, dalam beberapa kesempatan mereka diajak untuk studi kasus mengenai fenomena ini dari sudut pandang positif. Jadi kedepannya pola pikir positif mereka telah terbentuk, dan stigmatisasi bisa dihindarkan.
BalasHapusSetuju, Bang.
HapusHal-hal sensitif seperti ini memang harus dibekalkan ke anak-anak dari usia sekolah sedini mungkin. Semakin lama kita menanamkan, maka hal itu akan nempel terus di mereka.
Jadi, adanya perubahan sikap yang lebih baik bukan suatu kemungkinan yang tak mungkin lagi untuk dicapai.