[Resensi Film] - Tiga Dara (1956, ditayangkan kembali tahun 2016)
Source: Google Image |
Sutradara: Usmar Ismail | Penulis: Usmar
Ismail, M. Alwi Dahlan
Pemain: Chitra Dewi, Mieke Wijaya, Indriati
Iskak | Sinematografi: Max Tera
Distributor: Perfini | Rilis: 24 Agustus
1956 | Durasi: 115 menit | Rating: 4/5
Tiga Dara—film yang menceritakan usaha seorang nenek mencarikan pasangan hidup untuk cucunya yang
tertua. Adalah Nunung, Nana, dan Neni, tiga bersaudara yang dibesarkan oleh ayah dan neneknya setelah kepergian ibu mereka. Nunung, merupakan anak tertua
dari tiga bersaudara, mesti mengambil alih peran ibunya untuk mengasuh
adik-adiknya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Di benak Nunung, apapun
akan dia lakukan untuk kebahagian adik-adiknya.
Dari awal hingga pertengah film, hubungan ketiga
kakak beradik ini sangat harmonis, diceritakan bahwa mereka sangat kompak dan
mampu melengkapi sisi yang kurang dari lainnya. Hingga pada akhirnya datanglah
seorang laki-laki bernama Toto yang secara tak langsung membuat hubungan Nunung
dan Nana goyah, meski Nunung membantah bahwa dia mengharapkan Toto, tetapi Nenek
dan Ayahnya ternyata telah mempunyai rencana lain. Apakah hubungan Nunung dan
Nana akan hancur begitu saja hanya karena kehadiran seorang laki-laki?
Tiga Dara, lewat eksekusi yang gemilang oleh Usmar
Ismail memberikan perspektif baru bagi saya. Lewat film ini, nampak bahwa
kualitas film yang beberapa dekade lebih dulu ini dapat dibandingkan dengan
kualitas film-film masa kini. Bahkan saat poster film ini mulai dinaikan di
bioskop-bioskop tanah air, Tiga Dara secara khusus bisa mencuri perhatian para
penonton Indonesia.
Saat saya memutuskan untuk menonton film ini, saya
sedikit skeptis bahwa film ini akan ramai penonton, tetapi ternyata saya salah!
Film hasil restorasi ke format digital 4K ini berhasil membuat ruang teater
penuh penonton dan ini merupakan suatu hal yang sangat luar biasa. Bagaimana
tidak? Film yang telah berumur 60 tahun ini masih dengan gagahnya bisa menarik
perhatian dan mendudukan penonton untuk menikmatinya. Selain karena film ini
termasuk yang fenomenal dan merupakan karya besar dari sutradara ternama di
masanya, film ini juga menyuguhkan isu atau tema yang sampai sekarang pun masih
segar atau masih sering kita jumpai.
Perempuan adalah objek utama yang dieksplorasi dalam
Tiga Dara, bahkan lebih dari itu, penggerak dari alur utama dalam film ini
adalah tiga kakak beradik dan sekaligus nenek meraka. Karakter pria yang ada di
dalamnya berlaku adalah sebagaimana dengan apa yang mereka kehendaki. Nampaknya
dominasi perempuan di sini merupakan titik utama yang menjadi sorotan dalam film
Tiga Dara.
Karena usia film yang telah lama sehingga film ini
tentu saja pada saat itu disimpan pada media yang lain dengan peralatan yang
berbeda dari masa kini, maka untuk dapat dinikmati kembali di layar lebar, pada
tahun 2015 Tiga Dara harus direstorasi dan dikonversi dalam bentuk digital 4K
oleh Laboratorium L’immagine Ritrovata di Bologna—dan hasilnya seperti yang
kita dapat nikmati saat ini di bioskop-bioskop tanah air.
Sebagai generasi masa kini, saya telah terbiasa
dengan film yang dalam hal perpindahan scene secara direct, dalam artian antara
satu scene dengan scene lainnya dapat langsung berhubungan, berbeda dengan film
Tiga Dara ini—dalam perpindahan scene-nya akan nampak seperi saat saya menonton
sebuah pagelaran wayang orang, ada layar tertutup dan kemudian terbuka kembali
untuk melanjutkan pada scene yang lainnya. Apakah hal ini mengganggu? Tentu saja
tidak, hal ini malah memberikan sentuhan dan ciri khas tersendiri serta
membedakannya dengan produksi film kekinian.
Lantas bagaimana dengan kualitas acting dari para
pemain? Secara keseluruhan bisa dibilang sama bagusnya atau tak kalah dengan
kualitas para pemain film masa kini, dan melalui film ini juga berhasil membawa
nama para pemainnya menjadi besar di masanya. Secara khusus, saya sangat
tertarik oleh karakter Neni yang diperankan oleh Indriati Iskak—acting yang sangat
natural, dan meskipun film ini disuguhkan dalam format hitam-putih, karakter
Neni mampu membuat apa yang hitam-putih ini menjadi berwarna. Yang jelas,
melalui arahan Usmar Ismail mereka mampu mencuri perhatian saya dan para
penonton lainnya.
Cerita yang sarat komedi, menyuguhkan adegan-adegan
yang mampu membuat seisi ruang teater tertawa riuh, meski kami berbeda masa
tetapi masih tetap dapat mengikuti alur komedinya secara utuh. Tak lupa, film
ini adalah film musikal—dan secara ajaib, Usmar Ismail dapat mengemasnya dengan
tanpa canggung. Berbeda dengan drama musikal yang nampak canggung saat scene
menyanyi yang sering kita saksikan di layar kaca televisi Indonesia.
Pada 1 September 2016 ini akan ditayangkan versi
modern Tiga Dara yang disutradarai oleh Nia Dinata dengan judul “Ini Kisah Tiga
Dara”, meskipun sebelumnya telah ada remake-remake yang mendahuluinya, versi
Nia Dinata ini adalah satu film yang patut ditunggu pada tahun 2016 ini.
Dan jika teman-teman membutuhkan tontonan pelepas penat dari kesibukan pekerjaan, maka Tiga Dara adalah salah satu rekomendasi film Indonesia yang wajib untuk ditonton dan sangat disayangkan sekali jika sampai terlewatkan. Selamat menonton!
Semestinya film-film terdahulu ditayangkan lagi ya. Meski memang membutuhkan usaha yang keras, tapi bisa mengingatkan kembali wajah perfilman indonesia. Opa Umar dan karya2nya selalu gemilang dan membuat jejak nyata bagi dunia film. Setidaknya yang diangkat adalah bagaimana kualitas sebuah film. Bukan sekadar film yang kurang bermoral.
BalasHapus#sayangetikapah
Mungkin akan lebih keren lagi kalau ada festival film-film lawas, selain bisa ngenalin para generasi muda ke film-film lawas, hal ini bisa dijadikan komparasi untuk memajukan perfilman kita.
HapusKarena jujur aja, dengan nonton Tiga Dara kita akan ada pertanyaan, "apa perfilman Indonesia bisa dibilang telah menjadi lebih baik dan dewasa kalau kita menilik film-film terdahulu yang begitu elegan eksekusinya ini?"
Yah.. dan semua aspek akan lebih baik jika nonton di bioskopnya nggak sendirian.
HapusSama CiRia atuh, BangYan....
HapusYah,dan saya jadi pengen banget nonton..
BalasHapusHayuk, Masha.... Mesti nonton sama Ayahnya Cogans.
Hapus