[Ulasan Buku] - Vita Brevis, Sebuah Gugatan dari Cinta
Sumber Gambar: Google Image |
Judul: Vita Brevis (Sebuah Gugatan dari Cinta)
Penerbit: Jalasutra
Penulis: Jostein Gaarder
Penerjemah: VAM Kaihatu
Jumlah Hlm.: 150
ISBN: 979-3684-26-7
Siapa yang tak kenal dengan St. Agustinus, yang merupakan seorang Uskup, filsuf,
sekaligus teolog yang mempunyai pengaruh luar biasa pada sejarah perkembangan
pemikiran kekristenan pada abad pertengahan, bahkan banyak dari pemikiran yang
berkembang pada masa itu adalah berakar dari Agustinus. Tapi, bagaimana jika
ada sebuah sejarah baru yang terungkap mengenai santo yang mempunyai pengaruh
besar di masanya ini? Apakah penilaian kita akan tetap sama jika kita
mengetahui salah satu sejarah kelam orang yang telah disucikan ini? Apakah
Agustinus tetaplah seorang Agustinus dengan pemikirannya yang luar biasa, masih
dan akan tetap menempati posisi tertentu pada pemikiran para pengikutnya?
Adalah Vita Brevis, yang
merupakan buku kesepuluh dari Josetin Gaarder inilah yang nantinya akan membawa
kita pada satu titik, di mana kita dapat mengenal St. Agustinus dari perspektif
yang berbeda sama sekali dengan apa yang telah kita ketahui selama ini.
Vita Brevis, adalah sebuah
buku yang menurut saya bukanlah karangan asli dari Jostein, kenapa? Karena
dalam buku ini hanyalah terdapat salinan surat dari Floria (yang berasal dari Codex Floriae) yang ditujukan kepada
kekasih lamanya, yakni St. Agustinus. Di sini Jostein hanya menerjemahkan dan
memberikan banyak sekali catatan kaki di sana-sini dalam buku ini untuk
membantu para pembaca agar dapat mengerti isi dari surat Floria dengan lebih
jelas.
"Salam dari Floria Aemilia kepada Aurelius Agustius, Uskup Hippo. Sesungguhnya, terasa janggal untuk menyapamu dengan cara ini. Dulu, di waktu yang lalu, aku mungkin saja memanggilmu ‘Aurel kecilku yang selalu ceria’. Tetapi kini sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak kau pertama kali memelukku, dan banyak hal yang telah berubah”.
Kutipan di atas adalah pembuka dari surat Floria kepada Agustinus. Dari
kalimat pembuka ini, dapat kita ketahui bahwa segala hal yang berhubungan
dengan Agustinus dan Floria telah berubah sama sekali, dan juga menunjukkan
bahwa seorang Agustinus yang tengah disurati oleh Floria ini adalah seorang
yang sama tetapi tidak lagi mempunyai posisi sama dengan Agustinus yang dulu
cukup ia panggil dengan sebutan “Aurel”.
Dari surat Floria inilah, kita akan diajak mengenal pribadi lain yang
dimiliki oleh Agustinus. Sebenarnya, jika kita telah membaca salah satu buku
karangan dari Agustinus yang berjudul Confessiones,
maka akan sangat jauh lebih mudah untuk mengetahui arah dari isi surat yang
dituliskan oleh Floria ini, karena tak lain surat ini adalah segala jawaban dan
keberatan Floria atas isi buku yang ditulis oleh Agustinus itu sendiri.
Jika diukur dari segi sebuah surat, maka surat ini tentu saja mempunyai
keistimewaan dan berbeda dengan surat-surat pada umumnya. Floria adalah seorang
siswa di sekolah retorika di Carthage, yang kemudian di Carthage inilah Floria
dan Agustinus bertemu. Maka bukanlah sebuah kesulitan yang berarti bagi Floria
untuk menuliskan surat yang di dalamnya banyak sekali kutipan-kutipan dari para
filsuf terkemuka lainnya. Dalam Vita
Brevis (1996, hlm. 44) Floria menjelaskan pertemuannya dengan Agustinus di
Carthage:
….Aku ingat saat kita duduk di bawah sebuah pohon ara bersama tiga atau empat pelajar lainnya. Kau mengenal salah satu dari mereka dan kau berjalan mendatangi kami. Sambil mengerdip pada matahari, aku memandangmu. Aku pasti melakukannya dengan cara yang begitu memikat, karena kau menahan tatapanku sambil memandang turun ke tanah dengan ragu sekali atau dua kali sebelum kau menatapku kembali. Rasanya hampir seolah kita pernah hidup bersama. Aku langsung menyadari bahwa aku dapat mencintaimu dengan sepenuh hati dan jiwa. Tetap saja aku tidak pernah mengkhawatirkan atau memimpikan bahwa hal itu akan terjadi malam itu juga, walaupun firasatku berkata bahwa aku mungkin saja akan dapat melakukan keduanya sekaligus.
Telah saya sebutkan bahwa surat ini adalah surat kepada kekasih yang
mempunyai keistimewaan begitu banyak. Dengan membaca salinan surat dari Floria
ini, maka kita akan diajak secara tidak langsung untuk bersinggungan dengan
hal-hal yang berhubungan dengan filsafat atau karya sastra klasik. Banyak
sekali kalimat yang digunakan oleh Floria yang merupakan kutipan dari
pemikiran-pemikiran para filsuf, pun tak akan jarang kita akan menemukan bahwa
Floria terkadang juga memelintir pemikiran-pemikiran ini.
Dengan membaca salinan dari Codex
Floriae ini, saya dapat mengenal hal-hal baru tentang stoisisme, manikeisme, peribahasa-peribahasa Yunani kuno, dan banyak
kutipan-kutipan dari para pemikir seperti Bias, Cicero, Euripdes, Horace,
Boethius, serta para pemikir lainnya.
Pada Codex Floriae ini, Floria
menunjukkan keberatannya akan pemikiran Agustinus yang tertuang dalam bukunya.
Kritik ini tak hanya tertuju pada ranah pandangan pribadi Agustinus, melainkan
juga melebar pada persoalan iman, Tuhan, kesetaraan gender, semangat zaman, dan
tentu saja tentang makna hubungan antara wanita dan laki-laki di luar hubungan
pernikahan.
Secara pribadi, saya sempat mengalami kejenuhan saat membacanya. Tapi,
karena saya tertarik dengan pribadi dan pemikiran yang dimiliki oleh Floria, maka
saya pun akhirnya dapat menyelesaikan membaca buku ini dengan tenang.
Jika ditanya perihal kelebihan dan kekurangan, maka yang menjadi
kelebihan dari buku ini adalah tentu saja pemikiran-pemikiran Floria yang
disampaikan dengan bahasa yang menurut saya sangat elegan, tidak bersifat
menggurui, dan saat membaca buku ini saya merasa sedang membaca sebuah curhatan dari seorang teman saya. Untuk
kekurangan, mungkin agak monoton, itu saja. Dan pada akhirnya, saya memberikan
5 bintang (grade maksimal bukan)
untuk Vita Brevis yang tak lain
adalah terjemahan dari Codex Floriae.
“Aku merasa berkata-kata seperti Horace: Ketika orang-orang bodoh berusaha menghindari perbuatan yang salah, mereka biasanya justru melakukan hal-hal yang sebaliknya (Dum vitant stulti vitia in contraria currunt)”.
(Vita Brevis, hlm. 23)
Primum Esse, tum Philosophari~
Komentar
Posting Komentar